(Arrahmah.com)
- Ada khianat dan dusta, di balik terhapusnya kalimat, “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam
Piagam Jakarta yang juga Pembukaan UUD 1945. Sikap toleran tokoh-tokoh Islam, dibalas dengan tipu-tipu politik!
Sebagaimana ditulis sebelumnya, sehari pasca pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam
Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak
penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking
gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung
dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi
Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa
ditawar lagi.
Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim
utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa
melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh
senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman
Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan
secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan
pendirian Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam memoirnya yang berjudul ”
Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (
kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari
ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita
bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya
untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia,
terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?!
Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang
tongol-tongol dan yang
tingil-tingil. Yang
tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang
tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia,
pen)
adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan
yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.
Kiai,
di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan
hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti
kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat
Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah
rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin
yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi
kejepit!
Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam
yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata
termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya
Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang
tenteram, diridhai Allah SWT.”
Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta,
bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. KH A
Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu
menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa
menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan
sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang
mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti
kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena
Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang
Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat
Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.
Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji”
yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang
membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukkan ajaran-ajaran
Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.
”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus
1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis
pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke
dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus
Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.
Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada
suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular selalu
mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan
persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa
kalangan sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini
butuh persatuan, sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan
harus diminimalisir. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari
awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu, saat itu begitu
legowo untuk
tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut,
meskipun begitu pahit rasanya hingga saat ini. Sementara kalangan
sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat
move politik yang memaksakan kehendak mereka.
Namun sikap toleran dan legowo tokoh-tokoh Islam ternyata dikhianati.
Kasman sendiri akhirnya menyesal telah membujuk dan melobi Ki Bagus
hingga akhirnya tokoh Muhammadiyah itu menerima penghapusan tujuh kata
dalam Piagam Jakarta. Setelah berhasil melobi Ki Bagus, sebagaimana
diceritakan Kasman dalam Memoirnya, ia gelisah dan tidak bisa tidur.
Kepada keluarganya ia tidak bicara, diam membisu. Ia menceritakan dalam
memoirnya,
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon (Jepang,
pen)
telah mengepung Daidan, dan kemudian merampas semua senjata dan mesiu
yang ada di Daidan. Selesai laporan, maka Latief Hendraningrat hanya
dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan diri kepada saya
untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan
sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya
apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya mencari
kesalahan pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah.
Ini adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya
sebagai militer
kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
….Malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945) itu
sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, saya
pun lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang
harus saya marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah bangsa ini ketika itu.
Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Kedua, hilangnya sejumlah senjata milik tentara Indonesia dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir jauh
dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno
yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu.
Padahal dalam waktu enam bulan, mustahil untuk melakukan sidang
perubahan di tengah kondisi yang masih bergolak. Meski Kasman telah
mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya sesungguhnya sangat
baik, ingin bangsa ini bersatu.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah
mengampuni dosa saya,” kata Kasman sambil meneteskan air mata, seperti
diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, saat Kasman mengulang
cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah atas penyesalannya pada
peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2
Desember 1957, Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi
berubah menjadi “Singa di Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata
dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar negara. Dadanya
seperti meledak, ingin menyuarakan aspirasi umat Islam yang telah
dikhianati.
Dengan lantang dan berapi-api ia berpidato, “Saudara ketua,
satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang
tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tentu-tentu itu ialah
Dewan Konstituante ini! Justru itulah yang menjadi
way out daripada
pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
yang telah pula saya singgung dalam pidato saya dalam pandangan umum
babak pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki
Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu
itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempertahankan Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-Undang
Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung
Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putra Aceh menyantuni Ki Bagus
Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan
bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-Undang Dasar yang
tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah
meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke
rahmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan
seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti
sampai dengan wafatnya…
Gentlement agreement itu
sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada “janji” yang telah
diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia kepada kami
golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini
Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung
Karno dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih hidup guna
mempersaksikan kebenaran uraian saya ini…
Saudara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang
terhormat ini, saudara ketua, di manakah kami golongan Islam menuntut
penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof Mr
Soehardi mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara
Prof Mr Soehardi menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945 kami
golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau
harapan dengan menantikan waktu 6 bulan, menantikan suatu Majelis
Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-Undang Dasar yang baru dan
yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan Islam di Dewan
Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-Undang Dasar Sementara dan Dasar
Negara tidak boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu
gugat! Sebab fait-a compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya
akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat menyengat
dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan
kesalahan yang sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara
detil mengemukakan alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar
negara, dan mempersilakan golongan lain untuk mengemukakan
alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah kering dan
tak akan ada habisnya untuk digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika
negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan Pancasila yang dijadikan
dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang diambil
diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu
Islam.
Kasman
mengatakan, “Ada yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, ‘si
penggali’ air dalam tempayan itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya
hampir-hampir seperti Nabi atau lebih daripada itu, dan tidak dapat
diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama kelamaan, secara
tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya sebagai
supergeloof (ideologi yang luar biasa,
pen)
yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Begitulah sekelumit kisah di balik penghapusan syariat Islam dalam
naskah Piagam Jakarta. Ada dusta dan khianat dari mereka yang memberi
janji-janji muluk kepada tokoh-tokoh Islam saat itu. Ada upaya-upaya
yang jelas dan tegas untuk memarjinalkan Islam. Menggunting dalam
lipatan, menelikung di tengah jalan, adalah politik yang dilakukan
kelompok-kelompok yang tidak ingin negara ini berlandaskan pada syariat
Islam.
Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam, dimana sikap toleran kita
terhadap kelompok minoritas justru dihadiahi janji-janji palsu dan
dusta. Umat Islam harus menagih janji itu, bahwa Piagam Jakarta harus
kembali diberlakukan!
Oleh: Artawijaya - salam-online.com
-------------------------------
Keterangan foto dari atas ke bawah: Mr Kasman
Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, KH A Wahid Hasyim, Teuku Mohammad
Hassan, Mohammad Hatta, Soekarno saat pemilu 1955, Sidang Pembahasan
Piagam Jakarta dan Rapat BPUPKI
(saif al battar/
arrahmah.com)