JAKARTA (Arrahmah.com) – RUU Ormas pengganti UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985 yang ditargetkan akan disahkan pada pertengahan Maret 2013 menuai banyak kritik. Kritik tersebut menjadi sangat wajar karena merupakan bagian dinamis dari aktualisasi kebebasan berpendapat.
Demikian itu diungkapkan divisi Pengkajian Kebijakan Publik, Pusat Hak Azasi Muslim Indonesia (PUSHAMI), Jaka Setiawan menyikapi digodognya RUU Ormas di DPR RI dalam rilisnya kepada arrahmah.com, Kamis (28/2/2013) Jakarta.
“Dengan semakin banyak tumbuh dan berkembangnya serta meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan bernegara, tentu revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang masih syarat dengan paradigma kontrol dari negara terhadap kehidupan politik masyarakat, kehidupan sosial masyarakat, yang sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi perlu segera dicabut,” katanya.
Namun perlu diingat, lanjut Jaka, pengganti dalam proses perjalanannya RUU Ormas sebagai pengganti UU tersebut, harus menjamin kebebasan dan keberadaan ormas itu sendiri.
“RUU Ormas juga harus tetap berprinsip pada pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mendorong terciptanya transparansi dalam mengelola kegiatan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran Ormas,”tegasnya.
Sehubungan dengan hal – hal tersebut di atas, PUSHAMI berpandangan RUU Ormas harus memenuhi beberapah hal dainataranya yaitu, RUU Ormas harus bisa mendorong terciptanya pengelolaan sumber keuangan yang transparan dan bertanggungjawab.
“Terutama dalam hal pendanaan asing dari founding agency yang banyak menguasai LSM apalagi yang menyangkut menjalankan agenda asing, perlu menjadi perhatian serius RUU Ormas ini,” ucap Jaka.
Lebih dari itu, RUU Ormas juga harus bisa menciptakan pengaturan mengenai pelaporan keuangan, siapa mitranya, programnya apa saja, yang itu semua harus diserahkan oleh LSM yang bekerja sama dengan founding agency, dan itu menjadi bagian pertanggungjawaban untuk evaluasi dari kinerja program, apakah betul itu semata-mata untuk keperluan program atau ada hidden Agenda yang merugikan negara.
“Kemudian dalam beberapa kerjasama asing perlu diatur prasyarat-prasyarat dalam kontrak berdasarkan kepentingan bangsa Indonesia (National Interest),” urai Jaka.
Selain itu, menurut Jaka, RUU Ormas ini juga harus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan organisasi masyarakat asing. Misalnya ormas tidak boleh merongrong keutuhan NKRI, menodai keyakinan agama, dan melakukan spionase. Ormas juga dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan UU.
“Misalnya meyebarluaskan ajaran atau paham Komunisme, Marxisme, Leninisme, Kapitalisme, dan Liberalisme,” jelasnya.
Terakhir, RUU tersebut juga harus dimasukan pelarangan penyebaran terhadap paham penjajahan seperti “zionisme” yang perkembangannya di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan.
“Selain itu juga Ormas dilarang untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara yang tidakpunya hubungan diplomatic dengan Indonesia, seperti Israel,” Pungkas Jaka. (bilal/arrahmah.com)