Soeharto, Presiden
RI 1966-1998:
“Peristiwa Tanjung Periok adalah hasil
hasutan sejumlah pemimpin di sana.
Melaksanakan keyakinan dan syari’at agama tentu saja boleh. Tetapi
kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut
dikeluarkannya orang yang di tahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya,
tentunya harus diambil tindakan”.
(Buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989)
TANJUNG PRIOK, sebuah daerah di Jakarta tempat kapal-kapal berlabuh,
termasuk sa-lah satu daerah miskin dan kumuh. Daerah ini menjadi tempat
orang-orang desa dan pulau-pulau yang berdekatan guna mencari penghidupan,
supaya mereka dapat hidup di kota
Jakar-ta. Tempat ini penuh sesak oleh penduduk. Berdasarkan sensus
kependudukan, Tanjung Priok merupakan dae-rah paling padat, di mana setiap
meter persegi dihuni oleh sembilan orang. Apakah sensus ini benar atau
salah, yang pasti daerah ini dipadati oleh penduduk yang aktivitasnya non
stop dua puluh empat jam. Warung-warung dan barbar buka setiap malam.
Dalam salah satu persidangan kasus Tanjung Priok, salah seorang pembela
menerangkan bahwa daerah ini dikitari jalan-jalan sempit serta ratusan
gubuk-gubuk yang saling berhimpitan. Dan mayoritas penduduknya tinggal di
bangunan-bangunan sederhana yang terbuat dari bahan-bahan bekas pakai.
Koja, sebuah lokasi di mana peristiwa Tanjung Priok terjadi,
merupakan daerah hunian kaum buruh gala-ngan kapal, buruh-buruh pabrik,
bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal dengan “pekerja serabutan”.
Kerja perbaikan kapal merupakan kerja pokok di tempat ini. Tanjung Priok
sangat terpengaruh oleh gejolak ekonomi dan mudah sekali tersulut berbagai
issu. Pendu-duknya yang sangat padat, perputaran barang-barang keluar masuk
yang dikirim ke tempat-tempat lain di pulau Jawa demikian banyak. Selain
itu, tempat yang sangat miskin ini berdampingan pula dengan rumah-rumah
mewah yang dijaga oleh anjing-anjing galak. Padahal daerah ini dihuni oleh
berbagai golongan penduduk yang berbeda-beda kulturnya, seperti Banten,
Jawa Barat, Madura, Bugis, Sulawesi. Dan
semua daerah yang telah disebutkan, sangat dipengaruhi oleh kultur Islam.
Di daerah semacam Tanjung Priok, masjid merupakan barometer
kehidupan, tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak-anak serta tempat
melepas lelah dari kepenatan kerja di jalan-jalan dan lorong-lorong. Segala
keruwetan masalah menjadi pusat pembicaraan dan omongan diantara para
jama’ah masjid.
Pada pertengahan 1984, beredar issu tentang RUU organisasi
sosial yang mengharuskan penerimaan asas tunggal. Hal ini menimbulkan
implikasi yang luas. Di antara pengunjung masjid di daerah ini, terdapat
seorang muballigh terkenal, menyampaikan ceramah pada para jama’ah-nya
dengan menjadikan masalah tersebut sebagai topik pembahasan, sebab
rancangan undang-undang tersebut telah lama menjadi masalah yang
kontroversial.
Pada suatu hari, 7 September 1984, seorang Babinsa datang ke mushalla kecil
bernama “Mushalla As-Sa’adah” dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang
berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan
disertai pengumuman tentang jadual pengajian yang akan datang. Tidak heran
jika kemudian orang-orang yang hadir disitu menjadi marah melihat tingkah
laku Babinsa itu. Pada hari berikutnya Babinsa tadi kembali lagi bersama
seorang prajurit untuk mengecek, apakah perintahnya telah dilaksanakan atau
belum. Setelah kedatangan kedua ini muncullah issu yang menyatakan bahwa,
militer telah menginjak-injak kehormatan tempat suci, karena masuk ke
mushalla tanpa melepas sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di mushalla
dengan air comberan.
Pada tanggal 10 September 1984, Syarifuddin Rambe dan Sofyan
Sulaeman, dua orang takmir masjid “Baitul Makmur” yang berdampingan dengan
mushalla As-Sa’adah, berusaha menenangkan suasana dan mengajak kedua
tentara itu masuk ke sekretariat Takmir masjid guna membicarakan masalah
yang sedang hangat. Ketika mereka berbicara di dalam kantor, massa di luar telah
berkumpul. Kedua pengurus Takmir masjid ini menyarankan kepada kedua perajurit
tadi supaya persoa-lannya disudahi dan dianggap selesai saja, tetapi mereka
menolak saran tersebut. Para jama’ah yang berada di luar mulai kehilangan
kesabaran, lalu tiba-tiba saja salah seorang dari kerumunan massa menarik sepeda
motor salah seorang perajurit yang ternyata seorang marinir, kemudian
dibakar. Maka pada hari itu juga, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman
beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap juga
Ahmad Sahi, pimpinan mushalla As-Sa’adah dan seorang lain lagi yang ketika
itu berada di tempat kejadian. Selanjutnya, Muham-mad Nur, salah seorang
yang ikut membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan ke empat orang
tersebut kemarahan massa
menjadi kian tak terbendung, yang kemudian memunculkan tuntutan agar
mem-bebaskan mereka-mereka yang ditangkap itu.
Pada hari berikutnya, para tetangga mushalla yang masih
menyim-pan kemarahan datang kepada salah seorang tokoh daerah itu, bernama
Amir Biki, karena tokoh ini dikenal memiliki hubungan baik dengan beberapa perwira
di Jakarta.
Maksudnya, supaya dia ikut turun tangan
membantu membebaskan para tahanan. Sudah seringkali, Amir Biki turun tangan
menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer. Akan tetapi kali
ini usahanya ternyata tidak berhasil.
Pada tanggal 12 September 1984, beberapa
orang muballigh menyam-paikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas
berbagai persoalan politik dan sosial, diantaranya adalah kasus yang baru
saja terjadi. Di hadapan massa, Amir Biki berbicara dengan keras yang
isinya menyam-paikan ultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat
pk. 23.00 WIB malam itu. Jika tidak, mereka akan mengerahkan massa
mengadakan demonstrasi.
Di saat ceramah telah usai, berkumpullah sekitar 1500 orang demons-tran
bergerak menuju kantor Polsek dan Koramil setempat. Sebelum massa tiba di
tempat yang dituju, sekonyong-konyong mereka telah dikepung dari dua arah
oleh pasukan bersenjata berat. Massa demonstran berha-dapan face to face
dengan tentara yang sudah siaga tempur. Pada saat sebagian pasukan mulai
memblokir jalan protokol, mendadak para demonstran sudah dikepung dari
segala penjuru. Lalu terdengar suara tembakan, kemudian diikuti oleh
pasukan yang langsung mengarahkan moncong bedilnya kepada kerumunan massa
demonstran. Dari segenap penjuru berdentuman suara bedil, tiba-tiba ratusan
orang demonstran tersungkur berlumuran darah. Di saat sebagian korban
berusaha bangkit dan lari menyelamatkan diri, pada saat yang sama mereka
diberondong lagi atau dicabik-cabik dengan bazoka, sehingga dalam beberapa
detik saja jalanan dipenuhi jasad manusia yang telah mati dan bersimbah
darah. Sedangkan beberapa korban luka yang tidak begitu parah beru-saha
lari dan berlindung ke tempat-tempat di sekitarnya.
Sembari tentara-tentara mengusung korban
yang telah mati dan luka-luka ke dalam truk-truk militer, tembakan terus
berlangsung tanpa henti. Semua korban dibawa ke RS militer di tengah kota
Jakarta. Sedangkan RS lain diultimatum untuk tidak menerima pasien korban
penembakan Tanjung Priok. Setelah seluruh korban diangkut, datanglah
mobil-mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalan dari genangan darah
korban. Satu jam setelah pembantaian besar-besaran ini terjadi, Pangab
Jenderal Beny Murdani datang mengininspeksi tempat kejadian, dan untuk
selanjutnya, sebagaimana diberitakan oleh berbagai sumber, daerah tersebut
dijadikan daerah operasi militer.
Peristiwa Tanjung Priok sangat
mengerikan. Hampir setiap keluarga kehilangan salah
seorang anggota keluarganya pada aksi pembantaian ini. Korban pembantaian
diperkirakan ratusan orang, sehingga dalam waktu singkat kasus ini menjadi
sangat terkenal dan disebut-sebut dalam penerbitan resmi. Sebagian dari
massa demonstran yang selamat dari aksi pembantaian mengerikan itu,
memperkirakan jumlah korban yang meninggal sekitar 600 orang. Tetapi pihak
pemerintah menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan bahwa
“menurut penelitian, adanya korban pembantaian sebanyak itu sesuatu yang
mustahil”. Para korban pembantaian ini dikubur di pemakaman umum tanpa
sepenge-tahuan keluarga mereka. Bab 02-01 Pemerintah Menyembunyikan Fakta
Sehari setelah pembantaian manusia muslim
ini, Pangab Jenderal Beny Murdani dan Pangdam Jaya Try Sutrisno
mengumumkan, bahwa korban yang terbunuh hanya 9 orang dan yang luka-luka
berjumlah 35 orang. Sedangkan tentara dari berbagai macam kesatuan yang
menjaga markas polisi ketika peristiwa terjadi tidak lebih dari 15 orang
saja. Mereka dipaksa melepaskan tembakan karena tidak ada alternatif lain,
dan sudah sesuai prosedur. Kejadian ini adalah akibat dari agitasi
selebaran-selebaran dan pamflet yang tendensius, yang membakar emosi
keagamaan massa.
Menurut versi Beny Murdani, kronologi
peristiwa Tanjung priok adalah sebagai berikut: “Mula-mula petugas keamanan
berusaha mene-nangkan emosi massa dengan cara-cara yang persuasif, tetapi
dibalas dengan teriakan “Tidak setuju”. Teriakan-teriakan massa ini semakin
menjadi-jadi, sambil mereka maju mendekati petugas keamanan dan memepet
mereka. Ketika mereka merasa terancam bahaya barulah petugas keamanan melepaskan
tembakan peringatan ke udara. Oleh karena massa tidak juga mengindahkan
peringatan tersebut, barulah tembakan diarahkan ke kaki, sehingga sulit
dihindari jatuhnya korban. Massa ternyata tidak mau bubar sehingga
didatangkan pasukan tam-bahan. Setengah jam kemudian massa mengamuk
menyerang petugas untuk kedua kalinya. Menyaksikan situasi genting, petugas
terpaksa melepaskan tembakan untuk mencegah massa merebut senjata,
melaku-kan penyerangan dan pengeroyokan terhadap petugas”.
Masyarakat di daerah ini sejak semula
tidak mempercayai keterangan Beny Murdani, karena banyak diantaranya yang
mengalami penderitaan dan orang tahu, bahwa persoalan ini sangat
kontroversial. Banyak selebaran dan pamflet yang beredar di masyarakat
tetapi tidak ada yang berani menuliskan identitasnya pada pamflet tersebut.
Selebaran-selebaran ini diperbanyak lagi di kota-kota lain sehingga ada
yang sampai ke luar negeri, tapi anehnya tidak satupun koran-koran dalam
negeri yang memuatnya. Sudah barang tentu, ada juga berita-berita sederhana
yang diekspos berdasarkan keterangan resmi yang diberikan Beny Murdani.
Mereka yang menjadi korban kasus ini diisolasi oleh tentara, dan hanya
seorang saja yang jenazahnya dikembalikan kepada keluarganya, yaitu jenazah
Amir Biki, korban pertama pembantaian. Jenazah Amir Biki dikembalikan
kepada keluarganya untuk dimakamkan lantaran bantuan dari Wagub DKI
Jakarta, Mayjend. Edi Nalapraya, teman dekat Amir Biki dan orang yang
tadinya dimintai tolong untuk membebaskan para tahanan. Amir Biki dan Nalapraya
telah berhubungan sejawat sejak tahun 1965, ketika Amir Biki membantu
militer menghadapi PKI. Sedangkan Nalapraya adalah mantan intelejen di
bawah pimpinan Beny Murdani. Ketika ia memperoleh pangkat jenderal, dia
ditunjuk menjabat wagub DKI Jaya yang wilayah kekuasaannya meliputi daerah
Tanjung Priok. Pengangkatan ini tidak umum bagi seorang jenderal, tetapi
karena Nalapraya orang yang berdarah Betawi, dan punya pengetahuan
men-dalam tentang kehidupan masyarakat Tanjung Priok, maka dia dianggap
orang yang tepat menduduki jabatan wakil gubernur. Dia juga mantan wakil
Pangdam Jaya. Selebaran-selebaran dari Jakarta menyebutkan bahwa sebelum
meletusnya kasus Tanjung Priok, Nalapraya sebenarnya sudah menginformasikan
kepada Amir Biki, bahwa pemerintah menda-pat tekanan kuat untuk meninjau
kembali RUU orsospol yang kontro-versial itu, dan mungkin sekali tekanan
ini membawa hasil.
Seingat kami, masih ada tiga korban lagi
yang dikuburkan dengan sepengetahuan keluarga mereka, tapi siapa nama
mereka itu masih misteri. Sedangkan korban-korban lainnya dikuburkan oleh
pihak militer tanpa sepengetahuan keluarga mereka. Adapun korban yang
luka-luka yang dibawa ke RS militer diobati secara tidak semestinya. Ada
sebagian korban yang selama berbulan-bulan opname di RS militer ini tanpa
mendapat perawatan sama sekali; bahkan peluru yang masih bersarang
ditubuhnya pun tidak dikeluarkan, sehingga selama mereka tinggal di RS
dapat dikatakan sebagai pasien yang disandera. Hal ini berlangsung
berbulan-bulan lamanya sebelum keluarga mereka mengetahui tempat
penampungannya.
Segera setelah berita malapetaka ini tersebar di Jakarta, pada tanggal 17
September, lima hari setelah kejadian, 22 orang anggota petisi 50
menerbitkan Lembaran Putih yang berisi tantangan terhadap keterangan Beny
Murdani, dengan memuat data-data yang lebih akurat yang disam-paikan oleh
para saksi mata. Petisi 50 menuntut supaya segera diadakan penyelidikan
oleh tim independen atas kejadian ini. Sekalipun lembaran putih ini tersiar
dengan cepat, namun koran-koran Indonesia tidak satu pun yang
mengeksposnya. Bahkan tidak satupun yang berani memuat keterangan para
saksi yang menyampaikan kesaksiannya dalam persi-dangan kasus ini.
Sebagaimana disebutkan dalam pamflet,
bahwa orang yang berbicara di dalam pengajian yang kemudian menimbulkan
demonstrasi itu ada empat orang. Pertama, Amir Biki yang disebut sebagai
pimpinan demons-tran dan orang yang pertama kali melepaskan tembakan.
Kedua, Salim Qadar ditangkap pada 2 Oktober 1984, untuk selanjutnya
diajukan ke pengadilan. Setahun kemudian, Nopember 1985, dia dijatuhi
hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan dua orang terdakwa lainnya (Syarifin
Maloko dan Mohammad Nasir), bersembunyi lebih dari 1,5 tahun. Pada 11 April
1985 kantor berita AFP menyiarkan bahwa kedua orang ini telah tertangkap,
dan beberapa koran memberitakan keduanya akan segera diajukan ke
pengadilan. Tetapi pemerintah tidak menjelaskan, apakah keduanya akan
dikenai tahanan atau tidak. Pengadilan telah menolak berbagai macam
permohonan untuk melakukan pembelaan bagi terdakwa, sementara kedua orang
itu diminta untuk memberikan kesaksiannya. Posisi kedua orang ini menjadi
sangat misterius, khususnya menyangkut persidangan kasus Jenderal Darsono,
di mana Darsono menyarankan agar kedua orang ini dimintai keterangan mengenai
peran mereka dalam kasus Tanjung Priok. Pada tanggal 16 Juni 1986, beberapa
bulan setelah berakhirnya persidangan kasus di atas, barulah Syarifin
Maloko ditahan disuatu tempat di Jawa Barat. Dia ditangkap oleh salah
seorang perwira yang mengenalinya ketika berceramah di sebuah masjid. Dari
kejadian ini orang dapat memahami, bahwa sebenarnya dia tidak bersembunyi
dan tidak pula melakukan suatu tindakan sehingga patut ditahan. Sebuah
majalah mingguan Indonesia menyebutkan, bahwa semasa menjadi pelarian,
Syarifin Maloko muncul diberbagai kesempatan memberi ceramah di daerah
Merak Jawa barat. Bab 02-02 Suasana Pengadilan Kasus Subversi
Untuk mengadili terdakwa Kasus Tanjung
Priok, telah berlangsung beberapa kali persidangan. Pertama, menyidangkan 4
orang yang ditangkap pada tanggal 10 September. Kedua, persidangan terhadap
28 orang yang dituduh ikut dalam demonstrasi. Mereka ini menjadi korban
penembakan. Delapan orang lagi diadili dalam tiga kali persidangan
terpisah. Mereka dituduh sebagai orang-orang yang bertanggung jawab
melakukan pengrusakan sewaktu terjadinya demonstrasi. Selain persida-ngan
tersebut, di Jakarta juga berlangsung peradilan diberbagai tempat terhadap
orang yang dituduh melakukan provokasi dan menyebarkan selebaran-selebaran
yang berisikan kasus Tanjung Priok, mengkonter keterangan Beny Murdani yang
sangat bertentangan dengan fakta sebenarnya.
PERSIDANGAN 4 ORANG TERDAKWA
Persidangan pertama dilakukan terhadap 4 orang
terdakwa yang ditahan pada tanggal 10 September, yaitu :
1.
Nama :
Syarifuddin Rambe.
Umur : 38 tahun,
Pekerjaan : Tukang reparasi jam
Jabatan : Ketua majelis ta’lim.
Keterangan: Aktif di lingkungannya dan
mengisi waktu seng-gangnya dengan kerja sosial.
2.
Nama :
Sofyan Sulaeman.
Umur : 35 tahun.
Pekerjaan : Karyawan pabrik.
Jabatan : Anggota majelis ta’lim.
3. Nama : Ahmad Sahi
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Manajer ekspedisi barang
dagangan
Jabatan : Ketua takmir mushalla
As-Sa’adah.
4. Nama : Mohammad Nur
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Lulusan SLTA dan
pengangguran.
Orang-orang ini diadili dengan maksud untuk
menguatkan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Beny Murdani, bahwa sebenarnya
tokoh-tokoh masyarakat setempatlah yang mula-mula menimbulkan kekacauan
sehingga terjadinya demonstrasi pada tanggal 12 September. Selain itu, juga
dimaksudkan sebagai bantahan, bahwa apa yang tertulis pada seleba-ran atau
pamflet yang menuduh Babinsa setempat masuk ke tempat suci tanpa melepas
sepatu dan menyiraminya dengan air comberan, tidak seluruhnya benar. Issu
ini disebarkan dengan sengaja untuk membakar emosi dan membangkitkan
kemarahan massa. Dan Rambe serta Sulaeman dituduh menyerang petugas
keamanan.
Persidangan-persidangan ini sebenarnya
dimaksudkan sebagai upaya mengungkapkan penyebab terjadinya kasus Priok,
tapi ternyata dalil-dalil yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menyeret
para terdakwa ke pengadilan, isinya kacau dan tidak berhubungan satu sama
lainnya. Lebih buruk lagi, sikap penasehat hukum yang sama sekali tidak
menggunakan haknya dalam membela klien, terutama dalam mengejar keterangan
para saksi, apakah sesuai fakta atau tidak.
Persidangan empat orang terdakwa ini selesai hanya
dalam dua kali sidang saja. Rambe dan Sulaeman divonis dalam waktu
bersamaan. Sedangkan dua orang lainnya divonis sendir-sendiri. Ketiga
persidangan ini berlangsung dalam waktu yang sama. Pada hari itu juga
masing-masing terdakwa mengajukan banding di ruangan yang sama dan
dihadapan majelis hakim yang sama pula. Masing-masing terdakwa kemudian
dijadikan saksi untuk kasus temannya yang lain, padahal dalam kasus mereka
yang khusus ini mere-ka bisa menolak untuk memberi jawaban atas segala
pertanyaan yang dapat memberatkan diri mereka tentang tuduhan-tuduhn yang
tidak ada hubungannya dengan kasus mereka. Dalam memberikan kesaksian pada
kasus temannya mereka tidak disumpah sebagaimana mestinya sebelum menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan majelis penga-dilan kepadanya.
Adapun saksi-saksi rekayasa yang dihadirkan di persidangan semua-nya adalah
anggota militer, baik yang masih aktif atau pun pensiunan. Dua saksi utama adalah dua orang anggota
militer yang menodai kesucian tempat ibadah. Meskipun tuduhan pokoknya,
adalah para tertuduh telah menyebarkan selebaran gelap, namun ternyata
bahwa keterangan ang-gota militer dengan jelas mengakui, bahwa pamflet yang
menempel di mushalla memang disiram dengan air comberan. Saksi militer ini
beralasan: ”Karena pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa
dihapus, dan tidak ada peralatan ditempat itu untuk dipakai menghapusnya,
maka tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan”.
Hermanu, seorang yang pertama kali mengetahui adanya pamflet, adalah
petugas Babinsa yang telah dua kali berkunjung ke mushalla. Dia mengaku,
”tidak mencopot sepatu dalam kunjungan kedua kalinya ke mushalla. Sebab,
katanya, dia hanya masuk di halaman saja”. Ringkas-nya semua rekayasa ini,
gagal untuk dijadikan sebagai alasan menyang-gah kebenaran issu-issu yang
beredar tentang Tanjung Priok. Selain itu, ada tertuduh yang dinyatakan
bersalah karena kejahatannya menyebar-kan issu-issu yang kebenarannya
kurang dapat dipertanggungjawabkan, bahkan ada issu yang sama sekali tidak
benar. Bab 02-03 Penolakan terhadap Saksi Pembela
Persekongkolan dan kolusi antara hakim dan jaksa penuntut umum sangat nyata
dalam persidangan kasus Tanjung Priok ini. Mereka telah bersepakat untuk
menolak keterangan para saksi yang diajukan pena-sehat hukum terdakwa.
Dalam persidangan kasus Rambe dan Sulaeman, misalnya, para pembela
bermaksud menghadirkan saksi mata yang ikut hadir di mushalla ketika Hermanu
dan sejumlah tentara datang ketempat tersebut untuk kedua kalinya. Ketika
nama-nama saksi mulai dipanggil, jaksa malah berdiri dan berteriak lantang:
“Mereka ini buronan yang sengaja disembunyikan pembela”.
Jaksa penuntut umum dengan gigih menggunakan segala
upaya untuk mementahkan serta mendeskreditkan keterangan para saksi, tapi
para pembela tetap memaksa mereka untuk mendengarkan. Saksi per-tama
bernama Shaleh. Orangnya telah lanjut usia, berumur 65 tahun, pekerjaan
tukang batu. Sebelum saksi ini diajukan ke
persidangan, para pembela meminta jaminan keamanan bagi keselamatan saksi.
Tapi Hakim yang menyidangkan hanya bersedia memberikan jaminan keselamatan
selama berada di ruang sidang saja. Sedangkan di luar ruang pengadilan,
hakim menolak untuk bertanggungjawab.
Kendati menyadari bahaya yang mengancam
keselamatannya, na-mun Pak Shaleh tetap maju pada persidangan berikutnya
untuk menyampaikan kesaksiannya. Setelah diangkat sumpahnya, dia memberikan
kesaksian tentang kejadian yang disaksikan sendiri secara langsung. Pak
Shaleh sebenarnya akan dimintai konfirmasi untuk mengenali setiap orang
dari tentara yang terlibat dalam peristiwa itu. Tetapi yang terjadi dalam
persidangan justru sebaliknya, hakim yang menyidangkan malah bertanya
kepada para tentara bukan pada Pak Shaleh yang hadir disitu. ”Apakah
saudara-saudara kenal dengan saksi ini?”, tanya hakim pada para tentara
itu. Ketika mereka menjawab, ”Tidak kenal”, maka hakim dengan cepat
memutuskan untuk menolak kesaksian Pak Shaleh dan menyatakan bahwa
kesaksiannya tidak diperlukan dan tidak layak dipercaya. Setelah itu saksi
diusir dari ruang sidang. Para pembela menga-jukan protes keras, sesuatu
yang tidak pernah terjadi sebelumnya di dalam persidangan semacam itu.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, di tengah jalan Pak Shaleh dihadang
oleh dua orang tak dikenal, kemudian membawanya ke markas polisi untuk diintrogasi.
Pembela kembali memprotes keras intimidasi semacam itu. Di persidangan para
pembela mengatakan,”Akibat dari tindakan intimidasi semacam itu, para saksi
yang semula bersedia menyampaikan kesaksian, akhirnya berubah pikiran”.
Perlakuan terhadap saksi Pak Shaleh, pada kenyataannya membuat pembela
mustahil dapat menghadirkan saksi lain untuk kepentingan terdakwa.
Kemudian pembela mengajukan tuntutan kepada
pengadilan supaya mendengarkan kesaksian para saksi di tempat
berlangsungnya kejadian, supaya dapat menyelidiki perkaranya dengan lebih
obyektif. Pada awal-nya permintaan ini disetujui oleh hakim, tapi kemudian
dicabut kembali.
Menurut berbagai sumber, pencabutan izin persidangan dilokasi kejadian
adalah akibat intervensi langsung dari Beny Murdani. Hakim pengadilan
kemudian mengumumkan bahwa persidangan khusus di tempat kejadian tidak bisa
dilakukan. Alasannya,”Polisi setempat menyatakan, situasi tempat tidak
aman”. Pembela menyerang keputusan hakim dengan sengit, dan mengatakan:
”Kesaksian-kesaksian ini akan memberikan kejelasan bahwa sesungguhnya para
saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut adalah mustahil mereka
menyaksikan kejadian-kejadian itu dari tempat keberadaan mereka”.
Namun Jaksa penuntut umum berpendapat, bahwa Rambe
dan Sulaeman telah menggunakan kekuatan dalam menghadapi Hermanu dan
anggota militer lainnya untuk memaksa mereka meninggalkan kan-tornya guna
mencari selebaran. Akan tetapi kedua orang itu menyanggah-nya.”Apa yang
kami lakukan hanyalah usaha penengahan karena beranggapan, bilamana oknum
tentara mau minta maaf maka masalah-nya akan selesai”, ujar mereka.
Akhirnya Jaksa penuntut tidak mampu lagi mengemukakan alasan bahwa keduanya
benar-benar menggunakan kekerasan terhadap oknum tentara itu. Ketika hakim
bertanya kepada Hermanu, mengapa tidak mau minta maaf: ”Sikap yang benar
bagi seorang militer, yaitu tidak meminta maaf”, jawab Hermanu.
Ketika jaksa penuntut membatalkan tuduhan menyebarkan issu-issu bohong
kepada Rambe dan Sulaeman, pada saat itu sebenarnya persi-dangan sudah
hampir usai. Namun demikian, kedua orang terdakwa beserta seorang teman
pengurus masjid dikenai tuduhan lain, sehingga Rambe dan Sulaeman masing-masing
dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Sedangkan yang seorang lagi bernama
Sahi (takmir masjid) dijatuhi hukuman 22 bulan.
Muhammad Nur dikenai tuduhan merusak sepeda motor
milik seorang anggota tentara dan melakukan perlawanan terhadap petugas saat
ditangkap, agar dia dapat membantu temannya meloloskan diri dari
penangkapan. Padahal di dalam persidangan terbukti bahwa yang melakukan
perusakan sepeda motor adalah massa. Sedangkan Nur hanya semata-mata mendorong kendaraan itu dengan tangan.
Walau-pun begitu, dia tetap dituduh telah melawan petugas, dan diganjar
dengan hukuman 8 bulan penjara.
Bab 02-04 Persidangan 28 Orang Korban Pembantaian
Menjelang selesainya persidangan 4 orang terdakwa
seperti telah diurai-kan di atas, pengadilan mulai menyidangkan 28 orang
pemuda lainnya. Sebagian besar terdakwa adalah korban pembantaian Tanjung
Priok. Ketika terdakwa menyampaikan keterangan tentang pristiwa yang telah
dialaminya, sebagian besar dari mereka memperlihatkan dengan jelas,
bekas-bekas penganiayaan sewaktu berada dalam perawatan di RS militer.
Persidangan ini berlangsung beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok.
Sebagian terdakwa benar-benar tersiksa oleh derita
akibat penganiayaan petugas, sehingga untuk datang ke persidangan saja
mereka harus dipapah. Para pengunjung sebagian besar merasa iba terhadap
korban yang malang itu, sehingga membuat jalannya persidangan seringkali
terganggu karena tiba-tiba terdengar teriakan histeris pengunjung. Nam-pak
dengan jelas, bahwa ke 28 orang terdakwa hanya dijadikan sample di antara
sejumlah besar korban pembantaian.
AM. Fatwa, seorang muballigh dan anggota petisi 50
yang telah disidangkan kasusnya pada akhir tahun 1985, di depan sidang
penga-dilan bercerita: ”Saat berada dalam tahan militer di Cimanggis, ditempat
tersebut terdapat kurang lebih 200 orang tahanan berkaitan dengan kasus
Tanjung Priok. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda yang
menjadi korban tindakan berutal saat demonstrasi terjadi. Ia menceritakan
bahwa keadaan para tahanan tersebut sangat menyedihkan karena diper-lakukan
dengan buruk dan minimnya perawatan atas kondisi kesehatan mereka.
Selanjutnya Fatwa bercerita: ”Para tahanan remaja ini
tangannya penuh balutan karena luka parah akibat tembakan. Penjaga tahanan
tidak membolehkan anak-anak ini mengganti pembalut luka mereka. Pembalut
diganti dua hari kemudian setelah luka-luka berubah jadi borok. Tahanan
yang mengalami derita semacam ini bernama Lili Ardiansah, dan tahanan lain
bernama Maskun yang menderita 39 luka di tubuhnya akibat pemukulan sadis.
Luka-luka ini membusuk dan bernanah hingga satu bulan. Karena nasib baik
saja, luka tersebut sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi
meninggalkan bekas di tubuh mereka untuk selamanya. Tahanan lain bernama
Syarifuddin, mengalami kelumpuhan separuh badan akibat tekanan darah
tinggi, dan dibiarkan menderita demikian selama dua hari. Sekalipun dokter
telah dihubungi melalui telpon pada saat korban jatuh sakit, tetapi dokter
baru datang dua hari kemudian”.
Persidangan 28 orang di atas berlangsung selama lebih
dari tiga bulan. Semua tertuduh dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman
antara dua hingga tiga tahun. Tuduhan pokok yang didakwakan kepada mereka,
yaitu ikut serta melakukan perlawanan terhadap ABRI dengan kekerasan. Mereka
dikatakan membawa senjata berupa pisau, pentungan besi, clurit dan jerigen
berisi bensin, untuk melakukan pembakaran. Mereka tidak memperdulikan
peringatan bahkan melakukan serangan terhadap petu-gas keamanan dengan
pentungan dan lemparan batu. Mereka dituduh ikut dalam kegiatan politik
untuk melawan pemerintah dan melakukan demonstrasi politik melawan
undang-undang anti subversi.
Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan saksi-saksi,
semuanya terdiri dari oknum tentara dan polisi. Sebagian dari saksi bahkan seorang
komandan militer yang melepaskan tembakan terhadap para demons-tran.
Kesaksian mereka sedikitpun tidak ada yang keluar dari keterangan yang
sudah diumumkan oleh Pangab Beny Murdani berkenaan dengan kasus pembantaian
ini. Bahkan seorang saksi perwira menambahkan, ”Ada demonstran yang
berusaha merampas senjatanya”. Dua orang saksi lagi ditanya tentang berapa
jumlah korban dalam kasus tersebut, jawabnya “Tidak tahu”. Anehnya, tidak
seorangpun dari saksi tentara itu yang mengenali terdakwa, sekalipun para
terdakwa ini adalah orang-orang yang mereka hadapi dalam demonstrasi itu.
Akan tetapi, salah seorang saksi mengakui bahwa delapan orang dari para
tertuduh itu pernah dilihatnya berada di RS militer setelah mereka
ditangkap.
Sekalipun tuduhan yang dikenakan kepada para terdakwa adalah, ”menyerang
petugas keamanan” tapi tidak seorangpun saksi tentara yang hadir di
persidangan menunjukkan, bahwa di antara mereka mema-ng ada yang menjadi
korban terkena sasaran senjata demonstran. Ada kisah misteri yang diceritakan
dari Jaksa penuntut, ”Seorang perwira tertusuk benda tajam, tapi yang
bersangkutan tidak bisa hadir di persi-dangan karena menderita luka parah”.
Dapat dibayangkan bagaimana perasaan para tertuduh ketika mendengar
pernyataan demikian. Mereka membandingkan dengan derita diri sendiri yang
tidak mendapatkan perawatan dan mengalami luka bernanah, tetap dihadapkan
ke persida-ngan, sedangkan perwira bersangkutan hanya memberikan kesaksian
tertulis, dan diterima, walaupun tim pembela menolaknya dengan menga-takan,
bahwa hal semacam itu sesuatu yang tidak mungkin.
Jaksa menunjukkan beberapa senjata tajam, sebagai
barang bukti yang digunakan pada saat demonstrasi; padahal dia tidak dapat
mem-buktikan secara meyakinkan, bahwa senjata-senjata itu diambil dari salah
seorang terdakwa. Sebaliknya, salah seorang terdakwa menyangkal secara
telak barang-barang bukti yang ditunjukkan, kecuali hanya satu barang bukti
yang diakuinya, yaitu selembar selendang hijau -warna yang melambangkan
ikatan dengan Islam. Terdakwa bersangkutan men-jawab, selendang hijau yang
ditunjukkan di depan persidangan sama sekali tidak pernah dipergunakan
dalam demonstrasi, karena selendang yang ditunjukkan itu lebih besar
daripada yang ia miliki.
Bab 02-05 Vonis Pengadilan
Berikut ini akan dipaparkan beberapa keputusan yang
dimuat oleh sementara koran yang terbit disaat itu, menyangkut ke 28
terdakwa di atas.
Terdakwa yang divonis paling berat adalah Hendra
Safri, 22 tahun, seorang mahasiswa AKUBANK. Hendra sama sekali tidak mengalami cedera karena
memang dia tidak berada di tempat demonstrasi. Hal ini berbeda dengan
terdakwa lainnya. Karena Hendra ditangkap di Suma-tera, bukan di Jakarta,
pada tanggal 20 September. Ia menyatakan pada pengadilan pada tanggal 12
September, tengah bermain kartu dengan teman-temannya, berjarak 2 km dari
lokasi terjadinya demonstrasi.
Beberapa teman Hendera membenarkan keterangan yang
diberikan di muka persidangan itu, tetapi hakim sama sekali tidak
memperdulikan kesaksian mereka. Dia dijatuhi hukuman paling lama, 3 tahun,
sebab ia menceritakan kasus pembantaian Tanjung Priok dalam sebuah
ceramah-nya, beberapa hari kemudian sehingga hal ini menjadi bahan tuduhan
pokok dalam kasusnya. Selain itu ia adalah teman dekat Amir Biki. Jaksa
menuntut dia hukuman 5 tahun, sementara yang bersangkutan menolak semua
tuduhan yang dikenakan kepadanya.
Tiga orang tertuduh lainnya masing-masing dikenai
hukuman 27 bulan, yaitu:
1. Nama : Muslih bin Marzuki.
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Buruh.
Siksaan : Diseret dan diinjak-injak
dadanya oleh tentara.
Keterangan : Ia mencabut semua pengakuan
yang dibuat dihada-pan penyidik. Terdakwa berkata: ”Sekiranya penun-tut
tahu bagaimana pengakuan itu diberikan di depan penyidik, yang disertai
penyiksaan di luar batas kemanusiaan, niscaya dengan pasti penuntut setuju
atas pencabutan pengakuan kami”.
Nama : Marwoto.
Umur : 24 tahun
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Menderita luka-luka di
kepalanya akibat terkena popor bedil.
Keterangan : “Saya memang menghadiri
pertemuan, tapi tidak ikut demonstrasi. Saat itu ia tengah pulang ke
ru-mah. Namun massa memaksanya ikut demonstrasi sehingga ia meninggalkan
sepedanya. Ketika men-dengar letusan senjata yang muncul dari markas
polisi, ia tiarap dan menyusupkan kepalanya ke sebuah lubang. Di pengadilan
ia menceritakan bahwa tentara menerobos barisan orang banyak tanpa
mengindahkan kerumunan orang yang berje-jer sepanjang jalan. Ia tidak
berani meninggalkan tempatnya sampai ia ditangkap oleh polisi lalu dibawa
ke kantor Koramil dan di sana dipukuli. Ia mencabut kembali pengakuannya di
depan penyi-dik, dan ujarnya: ”Semua yang saya katakan di depan penyidik
adalah diluar kesadaran. Militer tidak mengijinkan saya untuk membaca
kembali keterangan yang diperoleh dari saya sebelum saya
menandatanganinya”.
2. Nama : Thahir bin Sarwi.
Umur : 20 th.
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Terkena letusan peluru pada
paha kiri dan telinga kanannya.
Keterangan : Dia datang dari Tegal ke
Jakarta bertepatan dengan peristiwa pembantaian Tanjung Priok. Dia sama
sekali tidak bermaksud ikut demo. Dia benar-benar pendatang baru di daerah
ini, tapi dia terseret massa untuk datang ke pertemuan. Dia juga menarik
kembali semua keterangannya di depan penyidik.
Tiga orang terdakwa lainnya, masing-masing dijatuhi
hukuman 21 bulan, yaitu:
1. Nama : Dudung bin Supian
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Pedagang air keliling
Siksaan : Luka-luka pada lengan kanannya.
Keterangan : Dia pergi ke pengajian
karena memang senang mengikuti pengajian. Ia mendengar salah seorang perceramah berkata:”Asas
Tunggal menyebabkan kebingungan umat Islam”. Ketika pengajian bubar dia
pulang ke rumah salah seorang temannya, tetapi massa yang ada di sampingnya
berteriak “Allahu Akbar”, lalu dia bergabung. Dia mendengar letusan senjata
dan kemudian dia terkena peluru nyasar. Orang-orang menolong dia untuk lari
dari tempat kejadian dan dibawa ke rumah sakit dan opname selama 2 bulan.
Sekeluar dari RS dia ditangkap. Hakim bertanya kepadanya,”Apa yang kamu
bawa ketika pengajian, disaat mana ia mendengar tembakan?”. Jawabnya,”Rp
5000 Pak Hakim, tetapi uang itu hilang”.
2. Nama : Amir bin Bunari.
Umur : 19 tahun.
Pekerjaan : Pengangguran.
Keterangan : Dia mencabut pengakuannya di
depan penyidik. “Dia turut hadir di pengajian dan hanya mendengar suara
dari speaker. Dia bergabung dengan massa yang pergi ke kantor Koramil. Di
tengah jalan dia mendengar rentetan suara bedil dan menyaksikan banyak
orang menggelepar di tanah. Dia berusaha lari, tapi ternyata kena tembakan.
Kemudian dia dilarikan oleh beberapa orang ke RS setempat. Dari sini
dipindahkan ke RS militer untuk ditahan.
3. Nama : Armin bin Mawi
Umur : 20 tahun.
Keterangan : Dia mendengar suara
pengajian dari kejauhan, kemudian ikut demonstrasi untuk membebaskan 4
orang yang ditahan. Dia berada di barisan terakhir dari massa yang
berdemonstrasi, jadi tidak melihat apa-apa pada saat pertama kali
dilepaskannya tem-bakan. Dia tidak tahu siapa yang menembak dan ke arah
mana. Tetapi dengan tiba-tiba dia pingsan ketika perutnya ditembus peluru.
Bab 02-06 Tiga Orang Terdakwa Dijatuhi 18 Bulan
Penjara
1. Nama : Wasjad bin Sukarma.
Umur : 32 tahun.
Siksaan : Kepalanya terkena peluru pada
saat ia pulang ke rumah dari kerja.
Keterangan : Waktu dia baru pulang dari tempat kerja, ia tak bisa langsung
pulang ke rumah, karena di tengah jalan berjubel massa. Sejenak ia mendengarkan
omongan-omongan orang, kemudian menunggu kendaraan umum untuk pulang ke
rumah. Saat melihat massa berjalan tiba-tiba dia mendengar suara tembakan,
dan tahu-tahu kepalanya sudah berdarah. Ia roboh bersimbah darah. Dua orang
membantunya mera-ngkak naik dari got, lalu dibawa dengan mobil ke RS.
Selang beberapa hari kemudian, dia diciduk tentara dari RS untuk
diintrogasi. Kemudian dima-sukkan ke sel Rumah tahanan (Rutan) militer
Cimanggis.
2. Nama : Nasrun bin Sulaemanah.
Umur : 17 tahun.
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Tertembak di pantat.
Keterangan : Dia tidak ikut pengajian,
tetapi tinggal di rumah main ping-pong. Selang beberapa lama, dia pergi ke
mushalla yang berdekatan dengan rumahnya, lalu tidur disana. Dia terbangun
saat mendengar orang-orang meneriakkan Allahu Akbar, lalu berdiri untuk
menyaksikan apa yang tengah terjadi. Saat mendengar suara tembakan dia lari
ke rumahnya. Sampai di rumah dia baru tahu pantatnya tertem-bak. Sedangkan
sebuah pelor lagi bersarang di dalam perutnya. Lalu dibawa ke RS oleh
ayahnya dan kemudian di tempat ini dia ditahan selama 3 bulan.
3. Nama : Suherman bin Surnata
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa.
Siksaan : Tertembak pada lengan kirinya.
Keterangan : Dia ikut menghadiri
pengajian dan bersama-sama para demonstran pergi ke kantor Koramil hendak
mengunjungi 4 orang tahanan. Tetapi ternyata dia terkena tembakan ketika
dia tiarap, kemudian dibawa ke RS setempat. Ditempat inilah dia diciduk
oleh militer dan dipindahkan ke RS militer. Tatkala hakim bertanya untuk
memperoleh penegasan pengakuan yang pertama-kali diberikan pada penyidik,
jawabnya” Tidak tahu apa yang ditulis oleh penyidik dan dia diminta untuk
menanda-tangani BAP tanpa boleh membacanya lebih dahulu”.
Bab 02-07 Tujuh Terdakwa Dihukum 10 Bulan
1. Nama : Damsirwan bin Nurdin.
Umur : 21 tahun
Keterangan : Tidak ikut pengajian dan tidak pula ikut demonstrasi. Saat itu
dia keluar mencari dua orang sahabatnya. Tiba-tiba dia berada di tengah
massa lalu mendengar rentetan tembakan, tetapi dia tetap berusaha men-cari
temannya. Dia bertemu dengan seorang tak dikenal berjalan di sampingnya
tiba-tiba dia tertem-bak dan roboh. Disepanjang jalan bergeletakan
mayat-mayat. Dia didatangi seorang polisi dan me-nendang kepalanya dengan
sepatu, dia dilarikan ke RS setempat dengan ambulance dan disinilah dia
ketemu dengan teman yang dicarinya, yang juga luka-luka tertembak. Salah
seorang temannya, pahanya terpaksa diamputasi untuk mengeluarkan peluru di
dalamnya
2. Nama : Ita Sumirta bin Amin
Umur : 17 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Siksaan : Tertembak di pahanya.
Keterangan : Menyanggah seluruh pengakuan
yang pernah di-berikan di depan penyidik. Katanya, ”Saya laku-kan semua itu
karena dipaksa”. Saya memang menghadiri pengajian kemudian ikut dalam
demonstrasi. Saat tembakan dilepaskan dia beru-saha lari tetapi ternyata
kena juga. Teman-temannya membawanya ke RS Islam setempat dan dari sini dia
diciduk dan dibawa ke RS militer.
3. Nama : Sardi bin Wage.
Umur : 18 tahun.
Pekerjaan : Buruh
Siksaan : Dadanya dipukuli beberapa orang
tentara dan diper-lakukan dengan amat sadis.
Keterangan : Dia menghadiri pengajian dan ikut demonstrasi untuk menuntut
pembebasan 4 orang yang ditahan. Ia menerangkan bagaimana perlakuan tentara
yang telah memblokade semua jalan masuk di lokasi kejadian. Mereka melepaskan
tembakan dia tiarap. Saat itu dia berharap memperoleh tempat sembunyi di
parit. Namun pasukan polisi menyeret dan kemu-dian menahannya. Dia tidak
ingat apa-apa tentang yang disampaikan di hadapan penyidik yang
mengintrogasinya. Sebab dia disuruh
menandata-ngani tanpa boleh membacanya.
4. Nama : Budi Santoso bin Suparto.
Umur : 18 tahun.
Pekerjaan : Penganggur.
Siksaan : Tertembak di punggung tembus ke
dada.
Keterangan : Katanya,”Saya menghadiri
pengajian dan demons-trasi”. Dia
tiarap ketika mulai terdengar tembakan. Saat berdiri dan mau lari,
tiba-tiba dia tertembak lalu dibawa orang ke RS setempat, dari sini
dipindahkan ke RS militer.
5. Nama : April bin Mansur.
Umur : 16 tahun.
Pekerjaan : Pedagang keliling.
Siksaan : Dadanya diinjak-injak.
Keterangan
: Dia tidak mendengar isi pengajian, karena pengeras suaranya gaduh. Tapi
dia mendengar ajakan untuk membebaskan 4 orang tahanan. Semua keterangan
dalam BAP dibantahnya karena dia menanda-tangani tanpa boleh membacanya lebih
dahulu.
Nama : Sudarso bin Raise.
6.
Umur :
16 tahun.
Pekerjaan
: Pelajar.
Siksaan
: Tertembak di lengan kanannya.
Keterangan
: Dia menghadiri pengajian dan demonstrasi. Di pengadilan dia berkata bahwa
peluru yang menem-bus lengannya masih bersarang di dalam. Dia men-ceritakan
bagaimana dia berusaha menolong dua korban pembantaian yang luka parah,
yang ternyata temannya sendiri. Hal itu ia lakukan setelah temba-kan
berhenti. Kedua temannya dibawa ke RS menggunakan gerobak sampah.
7.
Nama :
Umar bin Sundu.
Umur :
18 tahun
Keterangan
: Tidak ikut pengajian dan demonstrasi. Dia menya-nggah semua keterangan
dalam BAP. Saat terjadi demonstrasi dia tengah dalam perjalanan pulang dan
sedang berdiri di dekat lokasi untuk menanti bus. Tiba-tiba saja terdengar
letusan senjata dan seorang yang berdiri di depannya roboh bersimbah darah.
Segera ia ke masjid terdekat untuk mengam-bil keranda mayat, guna menolong
korban bersama dengan beberapa orang lainnya. Baru saja memin-dahkan korban
ke tempat yang agak aman, tiba-tiba datang tentara menyuruh untuk melemparkan
korban. Saat itu dia tidak ditangkap, lalu dia pergi ke masjid untuk
tiduran sebentar. Kemudian dia pulang namun di tengah jalan ia ditangkap. Bab 02-08 Sebelas Terdakwa Duhukum 1 Tahun
1.
Nama :
Ferdinan M. Silalahi,
satu-satunya
orang Kristen yang menjadi terdakwa.
Keterangan
: Dia menghadiri pengajian bersama teman-temannya guna memperoleh
pengetahuan lebih banyak tentang ajaran Islam. Ia menyatakan masuk Islam
ketika berada di penjara. Dia ikut berdemonstrasi tapi lari saat mendengar
rentetan bedil. Dia tidak terluka sedikitpun. Pada waktu menanti kendaraan
umum untuk pulang ke rumah tiba-tiba dia ditangkap.
2.
Nama :
Yusran bin Zaenuri.
Umur :
19 tahun.
Pekerjaan
: Mahasiswa.
Siksaan
: Salah seorang terdakwa yang termasuk paling parah lukanya. Dipukuli
punggung, dada dan lengan kanannya. Di dalam tubuhnya masih bersarang
sebuah peluru hingga saat dia dihadapkan ke persi-dangan. Kantor-kantor
berita asing mengutip kesak-siannya agak terperinci.
Keterangan : Ia berkata:”Para demonstran sebenarnya sudah berhenti sewaktu
mendapat perintah berhenti dari polisi. Fakta ini bertentangan sama sekali
dengan keterangan Beny Murdani”. Katanya lagi,”Dia berada di barisan
terdepan dalam demonstrasi dan menyaksikan seluruh peristiwanya dengan
jelas”. Dia ceritakan secara detail adanya truk-truk militer dengan
tergesa-gesa mengangkut mayat-mayat dan orang-orang yang luka ke RS.
Kemudian dia dilem-parkan dan jatuh di atas timbunan mayat yang ada di atas
truk. Ia tinggal di RS beberapa bulan tanpa diketahui keberadaannya oleh
keluarganya. Keluar-ganya menyangka dia sudah meninggal, dan sudah diadakan
kenduri/selamatan. Setelah memberi ke-saksian di pengadilan dia dibawa ke
RS, setelah dibebaskan dari penjara menjadi saksi kasus Dar-sono. (Baca
lampiran 1)
3.
Nama :
Misdi bin Sufian.
Umur :
16 tahun.
Pekerjaan
: Pelajar SLTP.
Keterangan
: Salah seorang korban yang diinjak-injak tentara. Keterangan lebih detail
sama sekali tidak termuat di koran-koran, hanya dikatakan bahwa dia
me-nyanggah semua keterangannya dalam BAP.
4.
Nama :
Amir Mahmud bin Dulkasan.
Umur :
17 tahun.
Pekerjaan
: Pelajar.
Siksaan
: Daun telinga kirinya sobek terkena peluru.
Keterangan
: Kami tidak mendapatkan data-data lebih rinci tentang pledoinya di
persidangan.
5.
Nama :
Ismail bin Abdul Hamid.
Umur :
16 tahun.
Pekerjaan
: Pelajar.
Siksaan
: Tertembak di punggung. Mengalami
luka sangat parah di sekujur tubuh.
Keterangan : Ikut demonstrasi karena ingin membebaskan empat tahanan. Saat
diangkut ke mobil militer, ia dipukuli habis-habisan oleh tentara, sehingga
tiga tulang rusuknya patah. Paru-paru dan saluran pernafasan-nya mengalami
penyumbatan lantaran luka-luka-nya.
6.
Nama :
Syafrizal bin Sufiyan.
Umur :
18 tahun.
Siksaan
: Luka tembakan di bahu dan pipi kanan.
Keterangan
: Kami tidak mempunyai data-data cukup tentang keterangannya di pengadilan
selain hanya sangga-hannya terhadap semua keterangan di BAP.
7.
Nama :
Maksudi bin Irsad.
Umur
: 22 tahun
Pekerjaan
: Pedagang asongan.
Siksaan
: Menderita luka-luka sangat parah. Tertembak di pantat tembus hingga selangkangan.
Keterangan : Dia termasuk orang yang menghadiri pengajian tapi berada di
luar. Sambil duduk di kursi, menelon-jorkan kakinya dan menyentuh kursi
lain. Ketika disidang, peluru masih bersarang di tempatnya. Penasehat hukum
meminta agar persidangan diper-cepat dan peluru dikeluarkan dari tubuhnya.
Tetapi permohonan ini ditolak. Ia selalu mengeluh, sebab hanya diberi
pengobatan yang sangat tidak mema-dai, sedang kondisi tubuhnya dengan cepat
merosot. Para wartawan yang mengikuti proses persidangan-nya menyaksikan
bahwa anak ini setiap kali disida-ng tampak sangat ketakutan. Para
pengunjung mengeluh tentang bau busuk yang keluar dari tubuh terdakwa
setiap kali dia hadir di persidangan. Sebab lukanya sudah bernanah.
Sehari-harinya dia bekerja sebagai pedagang pisang keliling dekat dengan
tempat pengajian. Lalu ikut dalam demonstrasi seke-dar ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Ketika mendengar para demonstran bertakbir dia merasa
ngeri dan ingin kabur, tapi keduluan tertembak. Lalu dia tersungkur dan
pingsan. Di hadapan majelis hakim dia tidak mampu menjawab satu pun
perta-nyaan yang diajukan kepadanya karena kondisi tubuhnya yang sudah
tidak berdaya, sehingga pem-bela maupun jaksa tidak pernah mengajukan
perta-nyaan kepadanya.
8. Nama : Cecep Basuki bin Wagi.
Umur :
16 tahun.
Pekerjaan
: Pedagang asongan.
Siksaan
: Dipukul dengan popor bedil sehingga dada dan kepalanya retak.
Keterangan : Sore itu dia hendak pergi ke bioskop untuk nonton tapi tak
jadi, lalu dia makan-makan di warung. Selesai makan ada demonstrasi lalu
ikut bergabung. Waktu meletus tembakan dia tiarap, tiba-tiba datang tentara
memukulinya. Dia ditangkap setelah dirawat di RS selama 10 hari.
9.
Nama
: Asep Safruddin bin Suhendri.
Umur :
19 tahun
Siksaan
: Tertembak di kepala.
Keterangan
: Dia keluar untuk kepentingan orang tuanya dan tidak ikut menghadiri
pengajian maupun demons-trasi. Ketika
terdengar tembakan dia berlindung ke dalam gardu yang berdekatan. Tiba-tiba
muncul panser tentara lalu kepalanya dipopor sehingga jatuh pingsan.
10.
Nama :
Iuscon bin Ilyas.
Umur :
18 tahun
Pekerjaan
: Pelajar.
Siksaan
: Tertembak di dadanya. Saat menoleh, dagunya ter-tembak lagi.
Keterangan
: Di depan sidang ditunjukkan dua lobang di dada-nya. Peluru pertama bisa
dikeluarkan ,tapi peluru kedua masih mengeram di dalam. Ujarnya, ”Dia ikut
dalam pengajian dan demonstrasi. Kemudian dia berada di tengah-tengah massa
yang hendak pergi ke kantor polisi tetapi tentara memblokir jalan dan
meminta para demonstran bubar. Para demons-tran mau pergi tetapi komandan
tentara melepaskan tembakan, dia menjadi korban pertama penemba-kan. Dia
menyanggah bahwa ada diantara para demonstran membawa senjata.
11.
Nama :
Wahyudi bin Shaleh.
Umur :
21 tahun.
Siksaan
: Tertembak pada tempurung lututnya.
Keterangan
: Di persidangan terdakwa memperlihatkan tempu-rung lututnya yang koyak. Dia ikut demonstran dan berjalan di
belakang orang yang menggunakan ikat kepala hijau. Ia menyaksikan para
demonstran sudah mulai bubar ketika diperintah militer untuk membubarkan
diri. Orang-orang ada yang duduk ketika polisi melepaskan tembakan tanpa
alasan sehingga kerumunan orang dengan segera berlarian. Banyak orang
tiarap dan dia sendiri tertembak saat berusaha bangkit dan lari. Ketika
tentara mendekati orang-orang yang tiarap ia meminta bantuan seo-rang
tentara, tapi menolak dan malah memukulinya. Ia berada di RS militer dua
bulan, kemudian keluar dan ditangkap.
Bab 02-09 Kasus Selebaran Gelap
Keterangan
resmi pemerintah mengenai kasus Tanjung Priok, sangat diragukan keabsahannya.
Banyak orang yang menyanggahnya baik lisan maupun melalui penerbitan
selebaran-selebaran untuk memaparkan fakta-fakta sebenarnya. Dari
keterangan di persidangan dan beberapa berita koran yang memuat hal ini
mengindikasikan bahwasanya selebaran gelap ini telah beredar dihampir
seluruh penjuru tanah air. Selebaran ini ada yang terdiri hanya selembar,
dan ada pula yang berlembar-lembar, berisikan keterangan saksi mata.
Sebagian dari selebaran-selebaran ini sengaja disebarluaskan oleh para
intel. Sesuai dengan hukum di Indonesia, bukanlah hal gampang memperoleh
izin penerbitan, dengan alasan itu maka selebaran dianggap sebagai
penerbitan illegal. Oleh karena itulah persidangan-persidangan kasus ini
dikenal dengan peradilan selebaran gelap.
Berikut ini contoh-contoh kasus
persidangan dimaksud.
1. Kusnoto bin Kasan, 32 th. Orang pertama
yang dituduh membagi-bagikan selebaran gelap, dan dijatuhi hukuman 2 tahun
penjara dan denda. Kesalahannya: Menerbitkan dan membagi-bagikan selebaran
kepada halayak. Dia ditangkap sepuluh hari setelah peristiwa Tanjung Priok.
Di mantelnya ditemukan selebaran gelap yang isinya membantah keterangan
Beny Murdani. Di pengadilan, penasehat hukum menyatakan protes sebab dia
ditangkap pihak Koramil yang berarti hal ini melawan hukum. Dia menyampaikan
keluhan karena selama penyelidikan terus menerus disiksa.
2. Rusdianto Selamat, 22 th, mahasiswa
sebuah PT di Yogyakarta. Dihukum 10 bulan, dipersalahkan karena membantu
melakukan penga-cauan, dengan ikut membagi-bagikan selebaran dan
mencetaknya. Dia telah memberikan selebaran kepada
lima orang temannya. Sedangkan teman yang memberikan selebaran kepadanya
hanya disebut inisialnya saja, dan dijatuhi hukuman sepuluh bulan juga.
3. Agus Sutaryo Kosib dan Ramli Zulkarnaen
Lubis. Mereka men-dapatkan selebaran, membantu pencetakannya dan
penyebarannya di kalangan jama’ah masjid. Masing-masing tertuduh diganjar 8 bulan penjara.
4. Syamsu haji Rauf dan Hizbullah Sidik
Deadon, mahasiswa Univ. Sultan
Harun. Keduanya dijatuhi hukuman, namun koran-koran nasional sedikit sekali
yang memberitakan persidangannya. Keduanya dinyatakan bersalah karena
menyebarkan selebaran gelap yang berjudul “Keterangan Singkat Kasus Tanjung
Priok Berdarah”. Sesuai dengan pernyataan jaksa penuntut, bahwa kedua orang
ini membacakan isi selebaran-selebaran tersebut pada sekelompok mahasiswa.
Karena itu keduanya dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Ternate dengan
hukuman berat. Yang pertama dihukum 10 tahun, dan yang kedua 15 tahun
penjara.
Masih ada para pengedar selebaran gelap
lainnya, dan juga dijatuhi hukuman penjara, tapi kami tidak memiliki
data-data cukup berkenaan dengan hal tersebut.
Sumber : Bencana Umat Islam di Indonesia tahun 1980-2000,
Bab 02 Persidangan Kasus Tanjung Priok
|
No comments:
Post a Comment
ya