Mengamati fase-fase sejarah peradaban Islam, segera akan didapatkan kenyataan bahwa umat Islam pernah -dan akan selalu- dihadapkan pada kondisi-kondisi sulit. Beberapa diantaranya meninggalkan trauma sejarah dan luka yang sulit disembuhkan. Selasa, 00 0000
Tulisan TerkaitIlmu MunasabahKeutamaan Baca Al Quran Pada Bulan RamadhanIndah Puasa dan Idul FitriKeisimewaan Syawal
Mengamati fase-fase sejarah peradaban Islam, segera akan didapatkan kenyataan bahwa umat Islam pernah -dan akan selalu- dihadapkan pada kondisi-kondisi sulit. Beberapa diantaranya meninggalkan trauma sejarah dan luka yang sulit disembuhkan. Diantara luka itu: pertama, peristiwa jatuhnya Baghdad ke tangan pasukan Tatar 656 H/1258 M. Kedua, jatuhnya kekuasaan Islam di Andalus, Spanyol. Ketiga, hegemoni pemikiran Barat pada dunia Islam dewasa ini. Secara berturut-turut, ketiga peristiwa itu akan dikupas untuk direnungkan dan kita ambil hikmahnya.
Baghdad
Membandingkan konflik kepentingan dan perang saudara berkepanjangan di Irak paska jatuhnya Rezim Saddam Husein dengan sejarah jatuhnya Baghdad tahun 656 H./1258 M. mengantarkan pada satu kesimpulkan: ternyata konflik Sunni-Syiah di Irak menemukan akar sejarahnya. Konflik besar antar kedua kelompok pernah terjadi juga dulu. Pertanyaannya, kalau dulu pertikaian antar keduanya menjadikan salah satu sebab pendorong hancurnya kekuasan Abasiah, apakah friksi yang terjadi sekarang ini juga akan membuat Irak dibuat hancur juga tanpa kita tahu siapa pemenangnya? Kesimpulan di atas berdasarkan pada data sejarah sebagai berikut:
Sebagai pengantar, sebetulnya, susah untuk menjelaskan bagaimana strategis Kota Baghdad dalam bentangan sejarah peradaban Islam. Pada masa keemasannya terlalu banyak keindahan yang bisa ia banggakan. Ia terlalu "sempurna". Yakut al-Hamawi dalam Mu\'jam al-Buldan menyebutnya sebagai Um ad-Dunya dan Sayidah al-Bilad –pusat peradaban dunia-. Saat itu, selain keindahan tata kotanya, Baghdad adalah center of excellence keilmuan dunia. Ulama-ulama dari berbagai disiplin ilmu, pusat-pusat kajian dan penelitian, universitas, kekayaan referensi, semuanya tumplek di Baghdad. Tak heran lebih dari seribu pengarang mencantumkan kalimat al-Bagdadi pada namanya. Mereka adalah orang yang berasal atau menimba ilmu di Baghdad yang kemudian hijrah keluar Baghdad. Adapun ulama-ulama yang tinggal d Baghdad atau bermukim di Baghdad, terlalu sulit untuk dihitung jumlahnya. Namun sejak 656 H. atau 1258 M, bahkan hingga ini, Baghdad seolah tak mau bangun dari tidur panjangnya. Tentara Amerika dan sekutunya kini bercokol di Irak. Warga Irak pun –Suni, Syiah dan Kurdi- asyik bertikai sesamanya. Memilukan memang!
Petaka 656 H.1258 M. ini terjadi, selain karena lemahnya kepemimpinan Khalifah ke-37 –terakhir- dinasti Abasiah, al-Musta\'shim (609-656 H/1212-1258 M.) juga karena ada konspirasi antara salah seorang menteri kepercayaan al-Musta\'shim, Ibn al-Alqami (seorang penganut Syiah Rafidhah) dengan penguasa Tatar, Hulaku. Demikian para pakar sejarah menjelaskan.
Pada masa Abasiah dia merupakan orang kepercayaan khalifah. Tapi, sayang kepercayaan itu kemudian disalahgunakan. Dia berniat ingin menggusur Abasiah dari pentas kekuasaan dan kemudian di atas reruntuhannya mendirikan negara Syiah. Nafsu ini timbul karena adanya konflik fanatisme bermazhab antara kaum Suni kota Basrah dengan penduduk Kurkhi yang penduduknya penganut Syiah Rafidhah. Suatu hari penduduk Basrah lapor pada Pangeran Abu Bakar Ibn al-Mu\'tashim –sebagian pakar mengatakan nama aslinya Abu Abas Ahmad- dan Ruknudin atas tindakan kekerasan yang dilakukan penduduk Kurkhi. Melihat gejala yang tidak sehat itu mereka berdua memerintahkan bala tentara menyerang Kurkhi. Akibatnya Kurkhi porak-poranda. Peristiwa ini ternyata meninggalkan rasa sakit dan dendam yang luar biasa bagi Ibn al-Alqami dan memicu keinginan di atas.
Untuk meluluskan hasratnya diaturlah tiga rencana besar yang semuanya dilakukan dengan rapih dan kecerdikan yang luar biasa:
Pertama, melemahkan kekuatan angkatan bersenjata Abasiah dengan cara memangkas anggaran militer dan mengurangi jumlah pasukan. Dari sekitar seratus ribu tentara pada masa ayah al-Mu\'tashim -al-Mustansir-, dipangkas menjadi kira-kira sepuluh ribu pasukan saja. Latihan peperangan dan modernisasi peralatan perang pun tak pernah ada lagi.
Kedua, melakukan konpsirasi politik dengan Penguasa Tatar, Hulaku, dengan kompensasi dia akan dijadikan Khalifah nantinya. Ibn al-Alqami mendorong Hulaku menyerang Baghdad. Dia berhasil meyakinkan bahwa Bagdad dalam kondisi sangat lemah. Semua info yang berkaitan dengan Bagdad dikasihnya dengan segala kepolosan. Sementara pergerakan pasukan Tatar dia tutup-tutupi serapat mungkin, sehingga pihak Abasiah tidak tahu, bahkan tak merasakan ada maut yang sedang mengintip.
Ketiga, menasehati Khalifah untuk tidak menyerang Tatar. Dia meyakinkan bahwa opsi damai adalah pilihan terbaik demi menyelamatkan nyawa rakyat. Demikian Ibn al-Alqami membungkus niat busuknya dengan alasan kemanusiaan. Karena lemahnya insting politik, Khalifah begitu percaya dengan apa yang disarankan Ibn al-Alqami.
Maka pada 18 Januari 1258 M. bertepatan dengan 656 H. Khalifah dan seluruh umat Islam harus menanggung derita dan tercabik-cabiknya harga diri. Petaka ini adalah awal kemunduran peradaban umat Islam setelah mengalami masa keemasan berabad-abad. Tak hanya materi yang hilang, tapi jiwa dan kekayaan inteketual pun hilang. Entah kapan lagi kita bisa mengulanginya? Pada hari itu dengan segala keganasan pasukan Tatar yang jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pasukan muslim tak tertahankan lagi menerobos pertahanan kota Baghdad. Ratusan ribu jiwa, laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua habis dibunuh. Atas perintah Hulaku, ratusan ribu manuskrip buku karya ulama Islam yang tersimpan rapi di rak perpustakaan-perpustakaan dibuang ke sungai Dajlah. Para pakar sejarah menceritakan saat itu Dajlah penuh sesak dengan buku-buku, sehingga membentuk jembatan, dan tak heran, kalau kuda pun bisa melewati sungah Dajlah dengan mudah. Air Dajlah berubah jadi hitam oleh tinta. Manuskrip-manuskrip yang merupakan akumulasi peradaban Islam-Arab terdahulu hilang tanpa ampun. Kelompok keilmuan, universitas, masjid-masjid tak ada lagi, hilang ditelan bumi. Baghdad pun jadi kota mati. Hanya bau busuk mayat dan orang depresi berat yang tersisa. Penyakit menular mewabah ke seantero negeri. Negara tetangga – Mesir dan Syiria- hanya bisa meratap, menangis pilu tanpa bisa berbuat.
Pengkhinatan Ibnu al-Alqami
Pengkhianatan Ibnu al-Alqami sungguh tak akan terlupakan. Ketika pasukan Tatar mendekati kota Baghdad, Khalifah baru sadar, bau kematian sudah ada di depan mata. Dia pun memerintahkan pasukannya yang tinggal sedikit untuk menghadang laju pasukan Tatar. Tapi, Ibnu al-Alqami, dengan niat busuknya, menyarankan Khalifah untuk memilih opsi damai dengan konsekuensi hasil pajak Irak di bagi dua, antara Khalifah dan Tatar. Ibnu al-Alqami, sebagi juru runding, pun mengabarkan keinginan penguasa Tatar untuk mengambil mantu putra Khalifah, yaitu pangeran Abi Bakar. Maka berangkatlah Khalifah dengan disertai 700 tokoh. Mereka terdiri dari: fukaha, kaum sufi, petinggi negara dan tokoh masyarakat. Begitu mendekati kediaman Hulaku, mereka dihadang dan hanya 17 orang yang diizinkan masuk. Sementara sisanya dibunuh tanpa tersisa!
Sedangkan Khalifah, sementara masih dibiarkan hidup dan dipersilahkan kembali ke Istananya, tapi dengan status sebagai tahanan rumah. Kesempatan menikmati hidup sesaat ini lebih karena pertimbangan materi, dimana Khalifah dipaksa untuk memberikan semua kekayaan pribadi dan negara kepada Hulaku. Ditengah-tengah kesempatan sesaat yang diberikan Hulaku pada Khalifah, menurut Ibn Katsir, sekelompok Syiah Rafidhan dengan giat memprovokasi Hulaku untuk sekalian saja menghabisi nyawa Khalifah. Karena kalau dibiarkan, satu atau dua tahun ke depan Khalifah dipastikan akan memberontak. Maka, ketika Khalifah kembali datang ke hadapan Hulaku, dia memerintahkan untuk membunuhnya. Konon yang memberikan isyarat untuk membunuh adalah Ibnu al-Alqami dan Nashirudin Atthusi.
Pada tahun yang sama, Hulaku kembali ke negaranya. Ibnu al-Alqami ternyata tak mendapatkan apa yang dia cita-citakan! Dia hanya menjadi penguasa boneka. Semua kebijakan ada pada Tatar. Ternyata kedudukan pada masa Abasiah jauh lebih mulia dah terhormat dibanding masa Hulaku. Memang tak akan ada pengkhianat yang jadi orang besar. Andaipun ada hanya bermulut besar!
Seorang wanita, suatu hari, melihat Ibnu al-Alqami menunggangi kuda. Pada saat yang bersamaan tentara Tatar menggertak marah pada Ibnu al-Alqami dan menyuruh untuk mempercepat laju kudanya. Lalu, bertanyalah wanita itu pada Ibnu al-Alqami, "Apakah Abasiah juga memberlakukanmu seperti ini?" pertanyaan cerdas dan menyindir ini ternyata menyisakan kesan yang dalam pada diri Ibnu al-Alqami. Dia tahu betul, wanita itu sedang menertawakan kebodohannya. Setelah kejadian itu Ibnu al-Alqami menjadi pemurung dan seperti orang bingung. Tiga bulan kemudian, pada tahun yang sama- dia pun mati membawa penyesalan yang tak berarti. Namanya tidak dikenang kecuali sebagai ibrah bagi para pengkhianat! Wallau \'alam
Fakta ini berdasarkan data-data sejarah yang dibangun para sejarawan Suni. Adapun sejarawan Syiah, seperti Thabathabai, misalnya, menolak keras tuduhan bahwa Alqami berkhianat pada Abasia. Tapi pembelaan ini terasa lemah ketika diajukana pertanyaan: kenapa ketika Hulaku meninggalkan Baghdad, kok Alqami yang dipercaya sebagai kepala pemerintahan Baghdad? Bukankah dia salah-satu menteri kepercayaan Khalifah yang baru digulingkan? Ada apa dibalik semua itu?
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/telaah/allsub/249/-jatuhnya-baghdad-656-h1258-m-.html
No comments:
Post a Comment
ya