Pada tanggal 30 September lalu Komisi I DPR telah mengetuk palu persetujuan RUU Intelijen sebagai keputusan komisi untuk diajukan ke Sidang Paripurna DPR. Kini RUU tersebut sudah disahkan oleh DPR.Draft final ini merupakan hasil dari perkembangan pembahasan sebelumnya. Dalam draft final ini terdapat perubahan terutama dalam hal definisi dan kategori ancaman, tentang penyadapan, pemeriksaan aliran dana, penggalian informasi dan ancaman sanksi pidana. Draft final inilah yang menjadi obyek analisis sekarang.
Berikut ini beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian semua elemen masyarakat terkait draft RUU Intelijen yang akan diajukan ke sidang paripurna DPR:
Pertama, ada kalimat-kalimat dan frase yang tidak didefinisikan dengan jelas, pengertiannya kabur dan multitafisr, sehingga nantinya berpeluang menjadi pasal karet. Misalnya, pada pasal 1 ayat (4) disebutkan, “Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar neger, yang dinilaidan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara KEsatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi,sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan“.
Dalam definisi ancaman ini ada frase “yang dinilai dan/atau dibuktikan”, kata yang dinilai itu sangat fleksibel. Tolok ungkapan yang dinilai itu tidak jelas tolok ukurnya apa, dan siapa yang menilai? Begitu juga apa yang dimaskud “kepentingan nasional” itu, siapa yang memutuskan sesuatu menjadi kepentingan nasional, apa tolok ukurnya, setingkat apa kepentingannya, dsb. Semua itu tdak jelas.
Semuanya akan bergantung pada penafsiran subyektif dan akan mengikuti “selera” pemegang kebijakan dan kendali terhadap operasional intelijen, yaitu Kepala BIN dan tentu saja presiden sebagai atasannya. Karenanya, hal UU ini bisa dijadikan alat demi kekuasaan dengan dalih kepentingan nasional. Bisa jadi, sikap kritis dan kritik atas kebijakan pemerintah akan dibungkam dengan dalih menjadi “ancaman”.
Kedua, di dalam RUU Intelijen draft final ini Pasal 1 dikatakan Intelijen Negara adalah “penyelenggara intelijen”. Definisi ini belum bisa menutup peluang Intelijen dijadikan alat penguasa untuk memata-matai rakyat dan musuh politiknya. Definisi ini tidak secara tegas menyatakan intelijen sebagai alat negara.
Ketiga, di Pasal 31 RUU Intelijen final dinyatakan: “Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Badan Intelijen Negara memiliki wewenang melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap setiap orang yang terkait dengan: a. kegiatan yang mengancam ketahanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta sektor kehidupan masyarakat, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup; dan/atau (b). kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.
Pernyataan, “kegiatan yang mengancam ketahanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta sektor kehidupan masyarakat, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup “cakupan pernyataan ini sangat luas, fleksibel dan tidak jelas misalnya, tolok ukur dan batasannya seperti apa? sampai tingkat apa bisa dikatakan mengancam ketahanan nasional dalam berbagai aspek itu? siapa yang berwenang menilai dan memutuskankannya?
Lalu pasal 32 menyatakan, (1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan berdasarkan peraturan perundangan-undangan. (2) Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi Intelijen; b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara; dan c. jangka waktu penyadapan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan. (3) Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri. Pembatasan harus dengan penetapan ketua pengadilan negeri ini, mudah-mudahan bisa membatasi penyadapan sehingga tidak terjadi penyadapan liar.
Keempat, di Pasal 33 dinyatakan (1) Pemeriksaan terhadap aliran dana sebagamana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan dengan ketentuan: a. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen. b. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara. (2) Dalam melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia, bank penyedia jasa keuangan atau lembaga analisis transaksi keuangan wajib memberikan informasi kepada Badan Intelijen Negara. Disamping akan membuka peluang untuk dijadikan alat demi kepentingan kekuasaan khususnya penguasa.
Memang secara eksplisit dinyatakan penggalian informasi itu tidak dengan melakukan penangkapan dan atau penahanan. Namun, pasal ini sebenarnya masih bermasalah. Sebab keputusan dilakukannya peggalian informasi itu hanya disandarkan para “atas perintah kepala BIN”.
Di sinilah ada peluang disalahgunakan dan dijadikan alat demi kepentingan kekuasaan. Disamping itu ketentuan “bekerjasama dengan penegak hukum terkait” jika dikaitkan dengan ayat setelahnya, ayat (2), ketentuan itu hanya asesoris, sebab penegak hukum wajib membantu BIN. Itu artinya BIN bisa “memerintah” penegak hukum terkait itu. Dengan alasan bahwa penggalian informasi tidak bisa dilakukan dengan baik kecuali orangnya ditangkap atau ditahan, maka BIN nantinya bisa “memaksa” penegak hukum terkait itu untuk menangkap dan atau menahan orang yang diinginkan oleh BIN. Alasannya, UU mewajibkan penegak hukum membantu BIN.
Sedangkan BIN butuh orang itu ditangkap dan atau ditahan. Maka penegak hukum wajib menangkap orang itu sesuai permintaan bantuan -perintah- BIN. Jika penegak hukum itu menolak akan bisa menyalahi UU. Meski memang dalam hal ini polisi juga harus menaati UU lainnya yang melarang dilakukan penangkapan dan atau penahanan tanmpa adanya bukti awal yang cukup. Itu artinya meski wajib membantu BIN tetapi jika untuk menangkap atau menahan bisa saja polisi menolaknya. Apalagi lagi dalam praktiknya seringkali terjadi ‘permainan kotor’ antar instansi pemerintah atau negara untuk kepentingan penguasa.
Keenam, mekanisme pengaduan dan gugatan bagi individu yang merasa dilanggar haknya oleh kerja-kerja lembaga intelijen belum dijelaskan detil. Di Pasal 15 memang dinyatakan: (1) Setiap orang yang dirugikan akibat dari pelaksanaan fungsi Intelijen dapat mengajukan permohonan rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya, bagaimana mekanisme pengajuan rehabilitasi, kompensasi dan restitusi itu dilakukan?
Ketujuh, RUU Intelijen tidak mengatur dengan jelas mekanisme kontrol dan pengawasan yang tegas, kuat dan permanen terhadap semua aspek dalam ruang lingkup fungsi dan kerja intelijen (termasuk penggunaan anggaran). Akibatnya, intelijen memungkinkan akan menjadi “super body” yang tidak bisa dikontrol dan bisa dijadikan alat kepentingan politik status quo.
Memang di Pasal 43 dinyatakan ketentuan Komisi DPR yang menangani bidang Intelijen jika memerlukan pendalaman dalam hal melakukan pengawasan bisa membentuk tim pengawas tetap beranggotakan 13 orang. Tim ini diberi wewenang menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait aktivitas penyelenggaran Intelijen yang melanggar peraturan perundangan. Tim juga bisa melakukan penyelidikan atas hal itu.
Pertanyaannya, sejauh mana efektifitas pengawasan model seperti ini bisa mengontrol Intelijen? Tindakan apa jika ternyata ditemukan pelanggaran? Pengawasan mode seperti ini tidak bersifat tetap dan terus menerus secara khusus mengawasi kerja Intelijen. Disamping itu, proses pengawasan oleh DPR itu hanya pengawasan politik, bukan hukum. Sehingga konsekuensinya hanya konsekuensi politik. Apalagi, tim itu tidak bisa mengambil tindakan terhadap pelanggaran jika ada. Jika dikatakan “kan bisa diteruskan ke penegak hukum?”. Faktanya, belajar dari kasus Century, semua itu tidak ada artinya, tidak memiliki kekuatan dan berlalu begitu saja.
Kedelapan, RUU ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis, khususnya jurnalis investigatif. RUU ini berpotensi untuk membungkam suara-suara kritis. Dengan delik kelalaian di pasal 45 bisa menjadi ancaman bagi sikap kritis dan keterbukaan. Apalagi cakupan Rahasia Intelijen seperti dijelaskan Pasal 25 sangat luas dan lentur. Misalnya, “ayat (2) Rahasia Intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan dapat: … c. merugikan ketahanan ekonomi nasional. d. merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri, … i. mengungkap rencana dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penelenggaraan fungsi intelijen.”
Masalahnya adalah fungsi intelijen itu mencakup penyelidikan (mencari, menemukan, mengumpulkan informasi dan …. Sementara klasifikasi Rahasia Intelijen itu ditetapkan oleh BIN dan tentu saja pengklasifikasian itu tidak bisa diketahui oleh semua orang. Jadi bisa saja seseorang apalagi jurnalis investigatif tanpa sadar menemukan, mengetahui atau memiliki informasi yang diklasifikasikan sebagai Rahasia Intelijen, lalu ia sebarkan, tulis, ungkap atau sampaikan informasi yang ia miliki kepada oran lain atau khalayak baik secara personal atau melalui media massa. Tindakan demikian boleh jadi bisa dijerat dengan Pasal “kelalaian” mengakibatkan bocornya Rahasia Intelijen.
Ancaman sanksi di dalam RUU ini pasal 47 tidak akan bisa mencegah penyalahgunaan penyadapan. Sebab menurut RUU final itu, penyalahgunaan hanya jika penyadapan dilakukan di luar fungsi penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Fungsi intelijen itu cakupannya sangat luas dan fleksibel. Jadi penyalahgunaan penyadapan sulit untuk dibuktikan.
Kesembilan, terkait dengan BIN. BIN diberi fungsi yang meluas hingga ke daerah. Di dalam penjelasan pasal 10 ayat (1) dinyatakan “Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri”, termasuk membentuk unit organisasi struktural di daerah dan perwakilan di luar negeri.” Karena BIN juga memerankan fungsi koordinasi semua penyelenggara intelijen (TNI, Polri, Kejaksaan dan kementerian/nonkementerian) yang masing-masing memiliki struktur hingga daerah, maka BIN seperti diharuskan membentuk struktur organisasi di daerah. Disampin itu BIN khususnya Kepala BIN diberi wewenang sangat besar dan luas dalam hal penyelenggaraan intelijen termasuk menentukan sasaran penyadapan, pemeriksaan aliran dana dan pendalaman.
Kesepuluh, Cakupan fungsi intelijen TNI, intelijen Kejaksaan, intelijen kementerian/nonkementerian tidak dijelaskan. Dikhawatirkan intelijen semua itu akan menyasar rakyat sebab fungsi semua lembaga itu terkait dengan rakyat. Domain fungsi intelijen BIN tidak dijelaskan dengan jelas dan hanya dibatasi dengan penjelasan sebagai penyelenggara Intelijen Negara dalam negeri dan luar negeri.
Intelijen pertahananan menjadi domain TNI, penegakan hukum menjadi domain intelijen kejaksaan, dalam rangka tugas kepolisian menjadi domain intelijen Polri dan dalam rangka pelaksanaan tugas kementerian menjadi domain intelijen kementerian/nonkementerian, yang semuanya juga belum dijelaskan dan hanya dinyatakan “dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Itu artinya fungsi intelijen BIN akan sarat dengan nuansa politis dan ideologi sehingga wajar jika BIN dengan semua paparan diatas sangat mungkin dijadikan alat politik penguasa.
Disamping semua itu, RUU Intelijen ini pada akhirnya akan berpeluang sangat merugikan rakyat. Umat Islam khususnya para aktivis Islam akan menjadi sangat dirugikan dan berpeluang menjadi korban. Upaya penegakan ajaran Islam yang bersumber dari Allah SWT atas kepentingan asing atau pihak tertentu, bisa jadi dipersepsikan sebagai ancaman. Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis dan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban dengan dalih mengancam keamanan atau kepentingan nasional yang ditafsirkan secara subyektif oleh penguasa. (Des/HTI/dbs)
No comments:
Post a Comment
ya