disarikan dari http://www.hizbut tahrir indonesia.com
Pengantar
Sistem pemerintahan Islam tegak di atas empat pilar, di antaranya adalah “as-sulthân li al-ummah (kekuasaan
berada di tangan rakyat)”. Berdasarkan penelitian dan pengkajian
mendalam atas hukum-hukum syariah dan realitas politik dalam kehidupan
Islam, diketahui bahwa pengangkatan seorang kepala negara (khalifah)
tidak sah kecuali melalui kehendak (baiat) dari umat (rakyat). Artinya,
rakyat yang memilih dan membaiat seseorang hingga ia menjadi khalifah
yang wajib ditaati dan dijaga dari pihak-pihak lain yang hendak merebut
kekuasaan darinya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ
بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَة يَدِه وَثَمَرَة قَلْبِهِ
فَلْيُطِعْه مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاء آخَرُ ينَُازِعُه فَاضْرِبُوا
عُنُقَ الآخَرِ
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, hendaklah
ia menaati khalifah itu selama masih mampu. Kemudian jika datang orang
lain yang akan merebut kekuasaannya maka penggallah leher orang itu (HR Muslim).
Hadis
ini menunjukkan bahwa seseorang yang telah mendapatkan kekuasaan
(baiat) dari rakyat wajib ditaati, sebab ia adalah seorang khalifah yang
telah dibaiat. Hadis ini adalah dalil yang jelas bahwa “kekuasaan berada di tangan rakyat” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 112; Khalidi, Qawâid Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97). Dengan kekuasaan yang berada di tangannya ini, rakyat bisa memilih dan membaiat siapa saja yang mereka kehendaki.
Lalu siapa saja dari umat (rakyat) dalam negara Islam yang memiliki hak untuk memilih khalifah dan membaiatnya?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 26, yang berbunyi: “Setiap
Muslim yang balig dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan berhak
memilih dan membaiat khalifah. Sebaliknya, orang-orang non-Muslim tidak
memiliki hak pilih.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 126).
Rakyat Dalam Negara Islam
Rakyat dalam Negara Islam adalah setiap orang yang telah memenuhi syarat at-tâbi’iyah,
yaitu loyal terhadap negara dan sistem. Dengan demikian siapa saja
yang berada dalam wilayah kekuasaan Negara Islam dan telah memenuhi
ketentuan at-tâbi’iyah berhak mendapatkan hak-hak yang telah ditetapkan oleh syariah untuk dirinya, baik ia Muslim maupun non-Muslim (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 140).
Rakyat
dalam Negara Islam dibagi menjadi dua, yaitu Muslim dan non-Muslim.
Rakyat non-Muslim inilah yang kemudian dalam istilah ulama fikih dikenal
dengan sebutan ahludz-dzimmah, yaitu orang-orang non-Muslim
yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara Islam, dan mereka ini
berjanji untuk loyal serta taat terhadap negara, baik mereka lahir di
dalam wilayah kekuasaan Negara Islam atau mereka datang dari luar,
kemudian ia meminta untuk dijadikan sebagai rakyat Negara Islam
(Al-Maududi, Nadzariyah al-Islâm wa Hadîhi fi as-Siyâsah wa al-Qânûn wa ad-Dustûr, hlm. 302).
Penamaan rakyat non-Muslim dengan ahludz-dzimmah
ini bermakna bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki jaminan
keamanan, sebab mereka berada dalam perlindungan Rasulullah saw. dan
jaminan keamanan dari kaum Muslim, yakni mereka mendapatkan perlindungan
dan jaminan keamanan selamanya dari Rasulullah saw. dan kaum Muslim
(al-Ayid, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm, hlm. 10).
Dengan demikian, penamaan rakyat non-Muslim dengan sebutan ahludz-dzimmah
ini adalah bentuk penghormatan, bukan penghinaan atau pelecehan seperti
yang selama ini tertanam dalam pikiran sebagian orang (Ath-Thayyar, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 48).
Dalam kitab Al-Amwâl karya Abu Ubaid dikutip pernyataan Imam Auza’i—rahimahullah—yang berkata dalam suratnya kepada seorang wali Abbasiyin, Shalih bin Ali bin Abdullah bin Abbas tentang kedudukan ahludz-dzimmah: “Mereka itu bukanlah budak, namun mereka adalah orang-orang merdeka dari ahludz-dzimmah.” (Al-Ayid, Huqûq Ghair al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm,
hlm. 11). Artinya, mereka non-Muslim adalah rakyat Negara Islam juga
sehingga mereka berhak mendapatkan hak-haknya dan wajib diperlakukan
sama seperti halnya kaum Muslim.
Hak Memilih dan Membaiat Khalifah
Rakyat
Negara Islam yang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, berhak
memilih dan membaiat khalifah, seperti yang termaktub dalam Rancangan
UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 26, bahwa “Setiap Muslim yang balig dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memilih dan membaiat khalifah.”
Dalil dalam hal ini adalah: Pertama, hadis dari Ubadah Bin Shamit yang berkata:
بَايَعْنَا
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي
الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لا ننَُازِعَ الأَمْرَ أَهْلَه وَأَنْ
نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالحَْقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَة لاَئِمٍ
Kami
telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati
perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak kami
senangi; dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin;
juga agar kami menegakkan atau mengatakan yang haq di manapun kami
berada dan kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang
yang mencela (HR al-Bukhari).
Kedua, hadis dari Ummu ‘Athiyah yang berkata:
بَايعَْنَا
رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم فقََرَ أَ عَلَيْنَا أَنْ لا يُشْرِكْنَ
بِا للهِ شَيْئًا وَنهََانَا عَنْ النِّيَاحَةِ فقََبَضَتْ امْرَأَة
يَدَهَا فَقَالَتْ أَسْعَدَتْنِي فُلاَنَة أُرِيدُ أَنْ أَجْزِيهََا فَمَا
قَالَ لَهاَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم شَيْئًا فَانْطَلَقَ ت
وَرَجَعَتْ فَبَايعََهَا
Kami
membaiat Rasulullah saw., lalu beliau memerintahkan kepada kami,
“Jangalah kalian menyekutukan Allah dengan apapun.” Beliau pun melarang
kami melakukan “niyahah” (histeris menangisi mayat). Karena itulah
seorang wanita dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan) lalu
wanita itu berkata, Seseorang (perempuan) telah membuat diriku bahagia
dan aku ingin (terlebih dulu) membalas jasanya.” Ternyata Rasulullah
saw. tak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi dan membaiat beliau.” (HR al-Bukhari).
Ketiga, apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah
bahwa Abdurrahman bin Auf mengambil pendapat kaum laki-laki dan
perempuan ketika ia ditugasi untuk mengambil pendapat kaum Muslim
tentang siapa yang akan menjadi khalifah—setelah Khalifah Umar bin
al-Khaththab ra. Wafat. Dalam hal ini tidak ada seorang Sahabat pun yang
mengingkari perbuatan Abdurrahman bin Auf tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 126).
Dengan
demikian, berdasarkan dalil-dalil di atas, setiap Muslim yang balig
dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan, berhak memilih dan
membaiat khalifah.
Non-Muslim dan Hak Baiat
Islam
merupakan syarat utama keabsahan baiat. Sebab, baiat ini dilakukan
untuk menegakkan Islam berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
saw.. Hal ini jelas mengharuskan keimanan terhadap keduanya. Non-Muslim
tentu tidak mengimani keduanya. Seandainya mereka beriman, tentu mereka
Muslim. Oleh karena itu mereka tidak berhak membaiat khalifah
(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 126).
Selain
itu, kalau non-Muslim memiliki hak untuk membaiat khalifah maka—tidak
menutup kemungkinan—mereka akan memberikan baiatnya kepada orang yang
mau dengan persyaratannya. Dengan begitu mereka bisa memilih penguasa
yang memberi mereka jalan untuk menguasai orang-orang yang beriman. Ini
jelas haram menurut syariah karena Allah SWT berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (QS Al-Nisa’ [4] : 141).
Oleh
karena itu, menjadikan pelaksanaan akad Khilafah ada di tangan
non-Muslim merupakan jalan (peluang) terbesar bagi mereka untuk
menguasai orang-orang beriman. Penggunaan huruf lan (sekali-kali tidak akan) yang memberi pengertian ta’bîd (selamanya)
adalah indikasi larangan tegas untuk tidak memberikan kekuasaan atau
jalan bagi orang kafir untuk mengontrol kaum Muslim, baik itu berupa
pemberian hak pelaksanaan akad Khilafah atau lainnya. Dengan demikian,
non-Muslim atau ahludz-dzimmah—sekalipun mereka bagian dari rakyat dalam Negara Islam—tidak memiliki hak memilih dan membaiat khalifah (Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 97).
Tidak
adanya hak memilih dan membaiat khalifah bagi non-Muslim tidak berarti
bahwa mereka adalah warga negara kelas dua yang harus tunduk dan patuh
pada institusi Khilafah semata. Justru ketika non-Muslim diberikan hak
tersebut, sama artinya dengan memaksa mereka untuk melakukan sesuatu
yang tidak mereka yakini. Ini sama sekali bukan karateristik Negara
Islam yang menjamin semua wagra negaranya untuk menjalankan apa saja
yang menjadi keyakinannya, dan bukan memaksa mereka untuk melakukan
hal-hal yang tidak mereka yakini (Asy-Syarif, Wadh’ al-Aqalliyât fi ad-Dawlah al-Islâmiyah,
hlm. 19). Jadi, tuduhan bahwa non-Muslim hanya menjadi warga negara
kelas dua dalam Negara Islam adalah tuduhan yang muncul dari dua
kemungkinan saja, yaitu kebodohan dan kebencian terhadap Islam.
Sebaliknya, tidak sedikit penulis Barat yang memuji keadilan Negara Islam terhadap rakyat non-Muslim atau ahludz-dzimmah. Di antaranya, seorang sejarahwan berkebangsaan Inggris, Sir Thomas Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam (Dakwah Islam), menulis,
“Sungguh ketika kaum Muslim berkuasa, mereka memperlakukan kaum Kristen
Arab dengan toleransi yang tiada duanya sejak abad pertama Hijrah.
Toleransi ini terus berlangsung selama berabad-abad lamanya. Karena itu,
kami yakin bahwa orang-orang Kristen yang memeluk Islam benar-benar
telah memeluk Islam atas pilihan dan kesadarannya sendiri. Orang-orang
Kristen Arab yang hidup di antara komunitas kaum Muslim di zaman kita
sekarang ini benar-benar merasakan toleransi yang luar biasa.”
Will Durant juga mengatakan, “Sungguh
ahludz-dzimmah dari kaum Kristen, Zoroaster, Yahudi dan Shabiin pada
masa Kekhalifahan Umayah benar-benar menikmati toleransi yang tiada
bandingannya. Kami tidak menemukan bandingannya di dalam negara Kristen
pada masa sekarang. Dalam Negara Islam, ahludz-dzimmah memiliki
kebebasan untuk menjalankan simbol-simbol agama mereka serta menjaga
gereja-gereja dan sinagog-sinagog mereka.” (Bahir Shalih, “Ahl adz-Dzimmah fi Zhilli Dawlah al-Islâm Ahkâmân wa Wâqi’ân,” http://www.pal-tahrir.info, 18/3/2012).
Dengan demikian, Pasal 26 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr)
Negara Islam ini merupakan sebuah penegasan bahwa Negara Islam tidak
akan memaksakan rakyat non-Muslim untuk melakukan apa yang tidak mereka
yakini. Sebab, Negara Islam adalah negara yang memiliki akidah dan
misi. Misinya tidak terbatas hanya pada menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan hidup bagi setiap rakyatnya, namun juga kewajiban
beraktivitas sesuai dengan akidah dan menyampaikan risalah Islam kepada
semua orang. Sungguh, tugas besar seperti ini hanya bisa dilakukan oleh
mereka yang beriman dengan misi Islam, yakni warga negara yang Muslim
saja, bukan non-Muslim. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Al-Ayid, Prof. Dr Shalih bin Husain, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi Bilâd al-Islâm (Riyadh: Departemen Urusan Islam, Waqaf dan Dakwah), Cetakan IV, 2008.
Bahir Shalih, “Ahludz Dzimmah fi Zhilli Dawlah al-Islâm Ahkâm[ân] wa Wâqi[’ân],” http://www.pal-tahrir.info, 18/3/2012.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fil Islâm (Beirut: Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Ad-Dawlah al-Islâmiyah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.
Al-Maududi, Abu A’la, Nazhariyah al-Islâm wa Hadîhi fi as-Siyâsah wa al-Qânûn wa ad-Dustûr (Damaskus: Dar al-Fikr), 1968.
Ath-Thayyar, Dr. Ali bin Abdurrahman, Huqûq Ghayr al-Muslimîn fi ad-Dawlah al-Islâmiyah (Riyadh: Departemen Urusan Islam, Waqaf dan Dakwah), Cetakan II, 2006.
No comments:
Post a Comment
ya