Jakarta (voa-islam.com) Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam, mengingatkan agar tidak bangga dengan jumlah Muslim-Mukmin yang banyak. Banyak jumlah. Sedikit kualitas alias "blo'on" atau "o'oon".. Karena itu, jumlah yang banyak itu, tidak sebanding lurus dengan izzah atau kemuliaan.
Sekarang, banyaknya Muslim dan Mukmin, hanyalah menjadi percandaan, lecehan, dan hinaan oleh orang-orang kafir. Mengapa? Karena, orang-orang kafir sudah bisa menakar iman (aqidah), komitmen, dan orientasi (ittijah) Muslim dan Mukmin.
Banyaknya Muslim dan Mukmin, tetapi mereka sudah menjadi kumpulan "mayat", bukan Muslim dan Mukmin yang masih memiliki ruh Islam. Sekalipun, mereka masih bisa berpuasa, melaksanakan shalat, berhaji, berumroh, berzakat, berinfak, tetapi mereka sudah tidak lagi memiliki ghiroh dan izzah. Ibadah yang mereka lakukan hanyalah sebatas ritual belaka. Tidak memiliki esensi yang berkaitan dengan iman (aqidah) mereka.
Bayangkan. Muslim dan Mukmin di Indonesia yang ingin menunaikan ibadah haji sampai harus ngantri. Menunggu 10 tahun. Uang yang mendem disetor di Kementerian Agama jumlahnya sudah lebih Rp 50 triliun. Saking banyaknya Muslim dan Mukmin, yang ingin pergi menunaikan ibadah haji. Umroh setiap bulan puluhan ribu orang. Apalagi menjelang sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.
Sekarang, Umroh malah menjadi wisata. Bukan dalam rangka meningkatkan kecintaan dan ketaatan kepada Rabbul Alamin. Sekadar melepaskan kelelahan rohani. Sekadar mencari suasana baru bagi kehidupan mereka, yang letih, akibat menghadapi rutinitas.
Ramadhan disambut dengan sangat antusias. Di mana-mana nampak suasana Ramadhan. Muslim dan Mukmin melaksanakan perintah Rabbul Alamin, melaksanakan ibadah yang diwajibkan dalam satu tahun sekali. Begitu luar biasa Muslim dan Mukmin menyambutnya. Di awal Ramadhan masjid-mushola begitu penuh sesak melaksanakan shalat tarawih.
Orang berzakat, berinfak, bersedekah, serta berbagai bentuk ibadah lainnya, begitu luar biasa. Apalagi, yang bekaitan dengan kegiatan menyantuni anak yatim, berlangsung sangat luar biasa. Anak yatim bahkan menjadi barang "dagangan", di sejumlah yayasan, dan akhirnya dimanfaatkan para pengurus yayasan, terkadang ada yang memperkaya diri mereka.
Begitu organisasi dan gerakan Islam, berkembang dan tumbuh seperti jamur di musim hujan. Mulai yang lunak sampai yang keras, dan selalu mengumandangkan jihad, tetapi tak ada "atsyarnya" (pengaruhnya) bagi kehidupan Muslim dan Mukmin. Tetap saja Mukmin dan Muslim menjadi bahan ketawaan para kafirin, musyrikin, dan munafikin. Mereka tak takut dengan Muslim dan Mukmin, karena mereka sudah tahu "isi perut" nya.
Mengapa sejak sebelum merdeka sampai hari ini, Muslim dan Mukmin di Indonesia, hanya menjadi objek, dan bukan subjek? Mengapa Muslim dan Mukmin di Indonesia hanya menjadi komplemen belaka? Mengapa Muslim dan Mukmin di Indonesia hanya menjadi tukang dorong mobil mogok?
Di zaman Soekarno-Hatta dikibuli oleh Soekarno dan Hatta. Mau dipencundangi. Mau dibikin "blo'on". Muslim dan Mukmin disuruh makan, makanan haram berupa ideologi "sekuler dan nasionalis". Muslim dan Mukmin disuruh menjadi pelengkap penderita hanya bisa bilang "ho'ooh" (ok), tak mampu dan berani mengatakan "laa" (tidak). Soekarno bilang "Nasakom" itu barang bagus, maka Muslim dan Mukmin, berkata, baguus ..
Kecuali para pemimpin Masyumi, yang memang para pemimpinnya, orang-orang zuhud dan wara', tidak doyan duwit, dan mata duitan. Karena itu, generasinya Natsir itu, dicatat sebagai sebaik-baik generasi yang berani memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Sesudah itu, yang lahir hanyalah generasi loyo, dan blo'on. Sekalipun, akhirnya dipenjara oleh Soekarno, itu masalah biasa saja.
Di zaman Soeharto, lebih sedih lagi, Muslim dan Mukmin dipreteli iman dan aqidahnya. Soeharto menyuruh kepada Muslim dan Mukmin beriman kepada "burung gepeng" alias "Pancasila", yang menurut Mohammad Natsir, sebuah ideologi "la diniyah" (ideologi sekuler), tetapi Muslim dan Mukmin, hanya bisa mengatakan, "ho'ooh", tak berani mengatakan "laa". Semua organisasi dan gerakan menjadi penyembah "burung gepeng", sebagai azas dan landasan gerakan mereka. Mereka menjadikan diennunnas menjadi sesembahan mereka yang baru.
Di zaman reformasi sama saja. Ketika Abdurrahman Wahid yang menjadi pemimpin, Muslim dan Mukmin disuruh melahap ajaran pluralisme. Semua agama sama. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hochu, dan Yahudi. Semua sama. Semua benar. Tidak ada yang berhak mengklaim agamanya sebagai yang paling benar, dan memiliki kebenaran secara mutlak. Maka, Muslim dan Mukmin, semuanya mengatakan "ho'ooh". Tidak ada yang mengatakan "laa". Abdurrahman menambahkan agama Kong Huchu masuk dalam agama resmi di Indonesia. Karena itu, ketika Abdurrahman Wahid mati, banyak orang Cina yang menangisinya.
Presiden SBY memberikan gelar Abdurrahman Wahid sebagai, "Bapak Pluralisme", bahkan para tokoh Yahudi dunia, yang berkumpul di sebuah hotel mewah di California, memberikan gelar "Medal of Velor" (Medali Keberanian) kepada Abdurrahman Wahid atas jasa-jasanya membangun peradaban pluralisme di Indonesia. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, dan Muslim Abdurrahman, sebagai "Bapak Pluralisme", dan Muslim dan Mukmin semuanya mengatakan "Amiin". Begitulah adanya.
Muslim dan Mukmin di Indonesia secara phisik jumlahnya semakin bertambah banyak. Jumlah mereka di Indonesia 90 persen dari 240 juta. Muslim terbesar di dunia. Tetapi, banyaknya jumlah itu, tidak signifan bagi kehidupan. Secara politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Hanya jumlah "doang" yang banyak. Tetapi, tidak sebanding dengan kehidupan yang nyata. Jumlah mereka sangat banyak. Tetapi, hanyalah kumpulan orang-orang yang tanpa "ruh Islam", sehingga menjadi Muslim dan Mukmin yang "o'oon".
Saudaranya dibantai, agamanya dihina, keyakinannya diselewengkan, mereka hanya sebatas membuat pernyataan. Habis itu tidur. Paling banter mengirim delegasi atau mengumpulkan dana. Dengan cara seperti itu merasa sudah berbuat. Mereka merasa sudah melakukan sesuatu yang dipandang sangat penting. Mengapa? Mereka itu, tak lain, kumpulan orang-orang yang loyo. Karena, aqidah dan imannya sudah dipreteli, sejak zaman penjajah, sampai di zamannya Abdurrahman Wahid.
Berapa banyak Muslim dan Mukmin yang dimurtadkan setiap hari oleh Salibis dengan sepotong roti dan segelas indomie? Tetapi, mereka tak tergerak sedikitpun. Apalagi, saudaranya dibantai di mana-mana, paling-paling hanya bisa menyampaikan kepritahinan belaka. Itulah Muslim dan Mukmin yang sudah kehilangan ruh Islamnya.
Akibat blo'on alias o'oon itu, membuat para musuh Allah Rabbul Alamin, semakin berani melecehkan dan menghina mereka. Mereka sudah tidak lagi memiliki aqidah dan iman. Muslim dan Mukmin yang telanjang. Telanjang bulat. Karena itu, mereka tidak memiliki furgon, tidak memiliki baro', serta tidak jelas loyalitasnya. Mereka dibantai juga diam saja. Ghirohnya sudah hilang.
Pemimpin yang jelas-jelas kafir, memusuhi Allah Rasul, dan orang-orang Mukmin, tetapi dijadikan pemimpin dan penolong. Pemimpin yang terang-terangan menolak syariah, diagungkan-agungkan sebagai negarawan. Padahal, mereka itu adalah para penjahat. Mereka yang selalu meneriakkan nasionalisme, sejatinya mereka itulah para pengkhianat bangsa. Mereka yang mengaku paling nasionalis itu, tak lain, para kaki tangan penjajah, dan ikut menindas rakyat sendiri.
Lihat. Mulai dari Soekarno yang menjadi kaki tangan Soviet dan Cina yang menganut komunisme itu, dan menjadikan sesembahannya. Berkomplot dan bersekongkol dengan musuh rakyat dan bangsa Indonesia. Tetapi, karena Muslim dan Mukmin Indonesia itu, kumpulan orang-orang "o'oon", Soekarno diberi gelar sebagai "Waliul Amri". Ikut mengagung-angungkan Soekarno yang sudah menjadi kacungnya Soviet dan Cina.
Begitu pula, Soeharto yang sudah menjadi kaki tangan Amerika Serikat, dan penjaga kepentingan kapitalisme, serta menjadikan "burung gepeng", sebagai agama baru di Indonesia, dan menjadikan "burung gepeng" alat pemukul bagi Muslim dan Mukmin, tetapi kenyataannya ada partai yang lahir di era reformasi memberikan gelar pahlawan dan menjadikan Soeharto, sebagai guru bangsa. Sungguh, nasib Muslim dan Mukmin Indonesia, sangat "o'oon".
Tak heran Indonesia menjadi tanpa harapan. Bahkan disebutkan oleh sebuah lembaga di Amerika sebagai "Failed State" (negara gagal). Karena, pemimpinnya hanyalah kumpulan "sampah", jago korup, menipu dan mendustai rakyat. Sementara rakyatnya, yang mayoritas Muslim dan Mukmin, hanyalah kumpulan orang-orantg "o'oon". Sehingga, kehilangan alternatif masa depan.
Makanya, yang berani muncul di tahun 2014, tokoh-tokoh yang mestinya sudah masuk kotak, tetapi kondisinya seperti itu, dan para Muslim-Mukminnya "o'oon", tak mampu menciptakan alternatif, yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, terutama dalam perjuangan dan pergerakan mereka, wajar yang muncul tokoh-tokoh yang sudah basi. Hal ini, disebabkan tokoh-tokoh dari kalangan Muslim dan Mukmin, berlaku pragmatis, dan mudah diduitin. Semuanya juga sudah tahu.
Tak heran sekarangpun, ibaratnya Muslim dan Mukmin disuruh makan "anjing dan babi", maka mereka akan mengatakan "ho'ooh". Tak berani mengatakan, "laa". Mendukung pemimpin kafir, musyrik, dan munafik, sama halnya dengan memakan "anjing dan babi".
Sejatinya, Muslim dan Mukmin sudah menjadi korban media yang pandai membuat pencitraan terhadap tokoh pilihan mereka yang nggak mutu itu. Seakan-akah menjadi pembela rakyat. Percaya atau tidak? Silakan. Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment
ya