Diasuh oleh:
Ust. Muhammad Muafa, M.Pd
Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jatim
Pertanyaan:
Assalamualalaikum wr.wb. Ustadz bagaimana hukum membangun masjid (musholla) tetapi uangnya dari hasil korupsi? Terus apakah sholat (ibadah) kita diterima Allah SWT jika kita melakukannya di masjid (musholla) tsb? Terima kasih. Wassalam
Muntaha, Jakarta, HP. +628963603xxxx
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang berniat beramal shalih dengan membangun masjid memakai harta korupsi, maka amalannya itu tidak diterima Allah. Harta korupsi adalah harta yang haram, beramal shalih dengan harta haram berarti mempersembahkan harta yang tidak baik kepada Allah, padahal Allah adalah Dzat yang baik dan hanya menerima yang baik (halal) saja.
صحيح مسلم (5/ 192)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
“Dari Abu Hurairah beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda; Wahai manusia sesungguhnya Allah itu Baik yang tidak menerima kecuali yang baik” (H.R. Muslim)
Nabi juga menegaskan bahwa Shodaqoh yang diterima hanyalah shodaqoh yang berasal dari penghasilan yang baik (halal);
صحيح البخاري (5/ 221)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
“Dari Abu Hurairah beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda; Barangsiapa bershodaqoh seberat satu butir kurma dari penghasilan yang halal, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik/halal, maka Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya kemudian memeliharanya seperti salah seorang diantara kalian memelihara anak kudanya, hingga sebutir kurma itu menjadi sebesar gunung” (H.R. Bukhari)
Adapula hadis yang lebih tegas yang menyatakan tidak diterimanya Shodaqoh dari hasil Ghulul (korupsi)*:
صحيح مسلم (2/ 5)
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى ابْنِ عَامِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ فَقَالَ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لِي يَا ابْنَ عُمَرَ قَالَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Dari Mush’ab bin Sa’d beliau berkata; Abdullah bin Umar menjenguk ibnu ‘Amir yang sedang sakit. Maka Ibnu ‘Amir berkata; Tidakkah engkau mau mendoakan untukku wahai Ibnu Umar? Ibnu Umar menjawab; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda; Shalat tidak diterima tanpa bersuci dan Shodaqoh juga tidak diterima dari hasil kecurangan” (H.R. Muslim)
Oleh karena itu, donatur pembangunan masjid yang menyumbang dari uang korupsi, betapapun banyaknya pujian manusia di dunia karena amalnya itu, maka di sisi Allah tidak ada nilainya karena Allah tidak pernah menerima amal shalih kecuali yang baik. Harta korupsi juga tidak dapat disucikan dengan zakat, karena zakat hanya mensucikan harta yang halal saja.
Kewajiban koruptor terhadap harta yang dikorupsinya adalah mengembalikan kepada pemiliknya. Hal itu dikarenakan korupsi adalah mengambil harta orang lain secara zalim. Dosa kezaliman terhadap hak hamba hanya bisa ditebus dengan cara mengembalikan hak tersebut kepada pemiliknya. Jika belum dikembalikan, maka selamanya menjadi tanggungan dosanya sampai hari kiamat dan akan diperhitungkan Allah di hari pembalasan. Orang-orang seperti koruptor punya peluang besar untuk menjadi orng Muflis (bangkrut) pada hari kiamat.
صحيح مسلم (12/ 459)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; Apakah kalian tahu siapa orang Muflis (bangkrut) itu? Mereka menjawab; orang bangkrut dikalangan kami adalah orang yang tidak punya Dirham (uang) dan barang (lagi). Nabi bersabda; Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku (adalah orang yang) datang pada hari Kiamat dengan (pahala) Shalat, Puasa dan Zakat tetapi juga membawa (dosa) mencaci fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, dan memukul fulan. Maka fulan (yang dizalimi) itu diberi pahala kebaikannya dan fulan (yang lain) diberi pahala kebaikannya. Jika pahala kebaikannya habis sebelum tanggungannya tuntas maka (dosa-dosa) kesalahan mereka diambil lalu dibebankan kepadanya lalu dia dilemparkan ke Neraka” (H.R. Muslim)
Jika pemilik harta yang dizalimi itu ternyata sudah meninggal, maka harta wajib diberikan kepada ahli warisnya karena ahli waris adalah pihak yang berhak memiliki harta yang ditinggalkan mayit.
Jika pemilik harta sudah tidak diketahui orangnya, maka koruptor wajib melakukan Takhollush/ التَّخَلُّصُ (melepaskan diri) dari harta yang telah dikorupsinya tersebut. Koruptor haram memanfaatkan harta itu untuk dirinya sendiri, karena harta itu bukan haknya. Cara Takhollushnya adalah dengan menginfaqkan harta tersebut untuk kepentingan-kepentingan umum misalnya: pembangunan masjid, pembangunan jembatan, pembangunan rumah sakit, pembangunan jalan, pembangunan bendungan dll. Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ syarah dari kitab Al-Muhadz-dzab;
المجموع شرح المهذب (9/ 351)
قال الغزالي إذا كان معه مال حرام وأراد التوبة والبراءة منه فان كان له مالك معين وجب صرفه إليه أو إلى وكيله فان كان ميتا وجب دفعه إلى وارثه وان كان لمالك لا يعرفه ويئس من معرفته فينبغي أن يصرفه في مصالح المسلمين العامة كالقناطر والربط والمساجد ومصالح طريق مكة ونحو ذلك مما يشترك المسلمون فيه والا فيتصدق به علي فقير أو فقراء
“Al-Ghozzali berkata; Jika dia memiliki harta haram dan ingin bertaubat serta bebas darinya, maka jika harta tersebut (jelas) pemiliknya, maka wajib diberikan kepadanya atau kepada wakilnya. Jika pemilik tersebut sudah mati, maka wajib diserahkan kepada ahli warisnya. Jika pemilik harta tersebut tidak diketahui, atau sudah putus harapan diketahui maka seyogyanya diinfaqkan untuk kemaslahatan umum kaum muslimin seperti jembatan-jembatan, Ribath (perbatasan tentara), masjid-masjid, kemaslahatan jalan menuju Mekah dan semisalnya, yaitu perkara-perkara yang kaum muslimin berserikat di dalamnya. Jika tidak maka bisa dishodaqohkan kepada seorang fakir atau sejumlah orang fakir. (Al-Majmu, vol. 9 hal 351)
Ketentuan bahwa harta haram seperti harta korupsi harus diinfaqkan pada pos-pos yang terkait dengan kemaslahatan umum didasarkan pada konsep dalam Islam yang melarang menyia-nyiakan harta. Jika harta haram tersebut dibakar misalnya, atau dibuang ke laut, maka tindakan itu bermakna menyia-nyiakan harta, padahal tindakan ini telah dilarang Islam.
صحيح البخاري (8/ 251)
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنَعَ وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda; sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan pelit tapi rakus. Dia juga membenci banyak bicara, rakus harta, dan menyia-nyiakan harta” (H.R. Bukhari)
Membakar harta haram atau membuangnya dilaut juga salah satu bentuk fasad (kerusakan) dan Allah tidak menyukai para Mufsidun (orang-orang yang berbuat kerusakan). Allah juga melarang memberikan harta kepada orang-orang idiot, karena mereka akan menyia-nyiakan harta yang dimilikinya;
{وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ} [النساء: 5]
“Janganlah kalian memberi harta kalian kepada orang-orang Idiot” (Q.S. An-Nisa;5)
Oleh karena itu, perlakuan terhadap harta haram yang benar adalah tidak boleh dimusnahkan karena bertentangan dengan perintah Islam agar tidak menyia-nyakan harta.
Adapun alasan kenapa harta haram itu digunakan untuk kemaslahatan umum, maka hal itu didasarkan ketentuan bahwa seluruh harta yang tidak jelas asal-usulnya, harta kecurangan, harta syubhat, harta penyitaan dan semisalnya semuanya dimasukkan Baitul Mal yang menjadi hak seluruh warga negara. Harta-harta semacam ini diperlakukan seperti harta Fai’ (rampasan perang tanpa perang) yang menjadi salah satu pemasukan Baitul Mal.
Atas dasar ini, menginfaqkan harta hasil korupsi untuk membangun masjid atau kemaslahatan umum yang lainnya adalah sebuah kewajiban jika koruptor tidak mungkin mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya. Namun infaq tersebut bukan dalam rangka ibadah/ amal shalih karena tidak akan pernah diterima. Infaq tersebut adalah dalam rangka taubat dengan cara Takhollush terhadap harta haram itu.
Adapun shalat yang didirikan di masjid yang dibangun dengan harta seperti ini, maka status shalatnya tetap sah. Karena syarat dan Rukun keabsahan shalat tidak terkait dengan harta yang digunakan untuk membangun masjid. Orang shalat di tanah rampasanpun shalatnya tetap sah, namun perbuatan merampasnya adalah dosa/maksiat. Ketentuan keabsahan shalat terkait dengan tempat hanya persoalan kesucian. Jika tempatnya suci, maka shalatnya sah dan jika tidak suci maka shalatnya tidak sah. Wallahu’alam.
Catatan kaki:
*Ghulul sebenarnya makna asalnya adalah mengambil harta Ghanimah diam-diam sebelum dibagikan oleh Imam. Dalam hukum Islam, Harta Ghanimah adalah milik seluruh kaum muslimin, yang tidak boleh diambil sebelum diserahkan pada Imam kemudian Imam akan membagikannya. Harta yang diambil diam-diam sebelum disetorkan kepada Imam adalah bentuk “pencurian” diam-diam terhadap hak warga negara. Jadi fakta Ghulul menjadi dekat dengan fakta korupsi meski istilah korupsi lebih tepat disebut Ikhtilas/ الإختلاس
No comments:
Post a Comment
ya