Ust. Muhammad Muafa, M.Pd
Pengasuh Pondok Pesantren IRTAQI, Malang, Jawa Timur
Pertanyaan melalui e-mail: redaksi@suara-islam.com, sms center: 081 218 933 633.
Assalamu’alaikum wr wb. Saya mempunyai keluarga seorang perempuan dan hamil 2 bulan dari laki-laki yg tak bertanggung jawab, kemudian dicarilah pria lain yang bersedia untuk menikahi, maka pernikahan ini berlangsung dan terdaftar KUA. Karena ini sifatnya hanya formalitas begitu selesai ijab kabul maka si pengantin pria langsung kembali ke kotanya dan hingga saat ini (3 tahun) telah putus kontak dengan pria tsb, karena sama-sama memaklumi ini bukan sesuatu perkawinan yang sesungguhnya. Pertanyaannya:
1. Apakah pernikahan ini sah menurut agama?.
2. Kemudian si wanita menemukan pria yang hendak menikahinya sesuai syar’i, apakah pernikahannya berikutnya ini sah sesuai agama, karena dia masih ‘terikat’ perkawinan sebelumnya meski itu merupakan sandiwara?.
3. Kalau pada point ke-2 tidak sah apa solusinya?
4. Sehubungan akibat masa lalunya maka hubungannya dangan orang tuanya sedikit memburuk, nah apakah pernikahan selanjutnya dengan wali nikah saudara (laki-laki) kandungnya, apa diperbolehkan menurut agama tanpa melalui/pemberitahuan ayah kandungnya?
Terima kasih atas jawabannya.. Wassalam,
Rangga-Batam
email : myjamsaren@gmail.com
JAWABAN:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Haram hukumnya menyelenggarakan pernikahan sandiwara/pura-pura/konspirasi/perkomplotan atau yang semakna dengannya. Pernikahan yang demikian itu telah batil dari asasnya sehingga tidak bisa dipandang sebagai pernikahan yang sah. Semua pelaku yang terlibat di dalamnya tergolong pelaku perbuatan dosa yang berat, termasuk yang memerintahkan atau memprovokasinya. Orang yang terlibat pernikahan sandiwara dilaknat Allah dan lelaki yang mau menjadi “aktor” dari pernikahan sandiwara disebut Rasulullah SAW dengan sebutan yang hina yaitu “At-Taisul Musta’ar” (Kambing Pejantan Pinjaman). Dalil yang menunjukkan kaharaman pernikahan sandiwara adalah hadis berikut:
قَالَ عُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِالتَّيْسِ الْمُسْتَعَارِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « هُوَ الْمُحَلِّلُ لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ ».
Uqbah berkata; Rasulullah SAW bersabda; Tidakkah kuberitahukan kepada kalian tentang“At-Taisul Musta’ar” (Kambing Pejantan Pinjaman)?mereka menjawab; Tentu wahai Rasulullah. Beliau bersabda; dia adalah Muhallil (orang yang menikah pura-pura/sekedar menghalalkan rujuknya pasangan yang telah bertalak tiga). Allah melaknat Muhallil dan yang diuntungkan Muhallil”
Laknat Allah yang dinyatakan dengan lugas pada hadis di atas cukup jelas menunjukkan kaharaman pernikahan sandiwara. Jadi pernikahan jenis ini tidak sah, tidak mengikat dan tidak ada konsekuensi apapun meski telah tercatat secara formal di KUA.
Oleh karena pernikahan sandiwara tidak sah secara syar’i, maka boleh saja jika ada lelaki lain yang ingin menikahi wanita yang telah berzina tersebut (termasuk juga lelaki yang menzinainya) asalkan bersungguh-sungguh menikahinya, dan tidak bermaksud untuk main-main (ada niat menceraikan). Pernikahan sungguh-sungguh dari lelaki lain ini sah secara syar’i asalkan memenuhi semua syarat dan rukun Akad nikah, meskipun wanita tersebut telah berzina. Dalil yang menunjukkan keabsahan menikahi wanita meskipun pernah berzina adalah firman Allah;
{وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ } [النساء: 24]
Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya).(An-Nisa: 24)
Sebelum ayat ini, Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi setelah itu Allah menutup dengan pernyataan; “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya” Kehalalan wanita-wanita lain selain yang disebutkan dalam ayat bersifat umum, termasuk mencakup wanita yang pernah berzina. Karena itu sah hukumnya menikahi wanita yang pernah berzina.
Dalil lain yang menguatkan adalah firman Allah;
{وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ} [النور: 32]
“Nikahkanlah wanita-wanita yang belum menikah dikalangan kalian dan orang-orang shalih dikalangan budak-budak lelaki dan budak-budak wanita kalian. (An-Nur: 32)
Lafadz الْأَيَامَى (wanita-wanita yang belum menikah) juga bersifat umum, sehingga mencakup wanita yang pernah berzina maupun yang tidak pernah berzina. Karena itu berdasarkan ayat ini juga, menikahi wanita yang berzina hukumnya sah.
Adapun ayat dalam surat An-Nur yang berbunyi;
{الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ} [النور: 3]
Maka ayat ini tidak bisa menjadi dalil bahwa menikahi wanita yang telah berzina hukumnya haram, karena lafadz “يَنْكِحُ” pada ayat tersebut maknanya bukan Akad nikah tetapi bermakna bersetubuh. Karena itu terjemahan yang tepat terhadap ayat tersebut adalah;
Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh (dengan cara haram) melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang Musyrik; dan perempuan yang berzina tidak disetubuhi (dengan cara haram) melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki Musyrik, dan yang demikian (Zina) itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin
Memaknai lafadz يَنْكِحُ dengan makna bersetubuh (dengan cara yang haram/zina) dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu abbas dengan sanad Shahih dan dikuatkan oleh ibnu katsir.
عن ابن عباس، رضي الله عنهما: { الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً } قال: ليس هذا بالنكاح، إنما هو الجماع، لا يزني بها إلا زانٍ أو مشرك .
“Dari Ibnu Abbas tentang ayat { الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً }beliau berkata; ini sama sekali bukan (Akad ) nikah tetapi (maknanya) adal Jimak (bersetubuh). Tidak ada yang berzina dengan wanita berzina kecuali lelaki yang berzina atau orang Musyrik (yang tidak punya iman)”
Seandainya menikahi wanita yang pernah berzina haram/tidak sah maka setiap perselingkuhan oleh salah satu pasutri harus berakibat diceraikannya secara paksa mereka dari ikatan pernikahan. Konsekuensi ini sama dengan tidak sahnya pernikahan seorang Muslim dengan wanita Musyrik. Seandainya ada pasangan yang menikah dalam keadaan dua-duanya Muslim , lalu ditengah jalan istri menjadi Musyrik, maka pasangan tersebut wajib diceraikan secara paksa, karena menikah dengan wanita Musyrik hukumnya haram sehingga pernikahannya tidak sah.
Masalahnya, ada hadis yang menunjukkan bahwa perselingkuhan/perzinaan pasangan tidak membuat status pernikahan menjadi batal. Misalnya hadis berikut ini;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِي لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ قَالَ غَرِّبْهَا قَالَ أَخَافُ أَنْ تَتْبَعَهَا نَفْسِي قَالَ فَاسْتَمْتِعْ بِهَا
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata; sesungguhnya istriku tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya. Nabi bersabda; jauhkan (ceraikan) dia. Lelaki itu menjawab; aku khawatir diriku membuntutinya (tidak sanggup berpisah dengannya). Nabi bersabda; kalau begitu bersenang senanglah dengannya. (H.R. Abu Dawud)
Lafadz لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ (tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya) menunjukkan wanita itu tidak menolak diajak berzina oleh lelaki lain. As-Syaukani dalam Nailul Author menegaskan bahwa lafadz لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ secara bahasa tidak bisa diingkari bahwa lafadz itu adalah kinayah berzina. Namun ternyata Rasulullah SAW tidak menceraikan pasangan tersebut, maka hadis ini menjadi petunjuk bahwa perzinaan tidak merusak akad nikah.
Riwayat lain yang menguatkan;
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ شَهِدَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ فَذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةً فَقَالَ أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
Dari Sulaiman bin ‘Amr bin Al-Ahwash beliau berkata; Ayahku memberitahu aku bahwa dia menyaksikan Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW memuji Allah dan menyanjungNya. Beliau memberi peringatan dan memberi nasihat. Beliau bersabda; berpesanlah kebaikan terhadap wanita, karena mereka itu laksana tawanan bagi kalian, dan kalian tidak memiliki apapun dari mereka selain itu. Kecuali mereka melakukan perzinaan yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkan mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (H.R. At-Tirmidzi)
Hadis ini lebih lugas lagi menunjukkan bahwa perzinaan istri tidak membuat rusak Akad nikah, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan perceraian baik sukarela maupun terpaksa.
Karena itu surat An-Nur;3 di atas tidak bermakna haramnya/tidak sahnya menikahi wanita yang pernah berzina, tapi hanya menunjukkan celaan keras terhadap aktivitas zina itu sendiri dan secara implisit menunjukkan dibencinya/makruhnya menikahi wanita yang telah berzina, meskipun menikahi mereka tetap sah hukumnya.
Demikian pula riwayat Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy yang berkeinginan menikahi pelacur Mekah yang menjadi Asbabun Nuzul dari ayat ini. Riwayat Martsad tidak menunjukkan haramnya menikahi wanita yang berzina tetapi hanya menunjukkan dibencinya menikahi mereka selama mereka belum meninggalkan perzinaannya.
Hukum ini berlaku bagi wanita yang telah berzina dan belum bertaubat. Menikahi mereka hukumnya sah, meski tidak disukai. Adapun jika mereka bertaubat, maka tidak ada masalah lagi karena menikahi mereka hukumnya sah tanpa kemakruhan sedikitpun. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat orang yang menikahi wanita yang telah dizinainya itu seperti orang mencuri anggur, lalu membelinya. Abubakar malah memandang bahwa menikahi wanita yang telah dizinai sebagai bentuk taubat.
Namun keabsahan menikahi wanita yang telah berzina diikat syarat yaitu melakukan Istibro’. Istibro dalam hal ini adalah masa menunggu sebelum boleh melangsungkan Akad nikah. Istibro’ wanita yang hamil karena berzina dilakukan dengan durasi waktu sepanjang masa kehamilannya dan berakhir pada saat melahirkan. Artinya, wanita hamil karena perzinaan baru boleh melangsungkan akad nikah yang syar’i setelah bayinya lahir. Jika saat hamil sudah melangsungkan Akad nikah maka Akadnya fasid (rusak) dan harus dibubarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beristibro adalah hadis berikut;
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ وَرَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ فِى سَبَايَا أَوْطَاسٍ « لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ».
Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali” (H.R. Abu Dawud)
Rasulullah SAW melarang mensetubuhi Sabaya hamil sampai melahirkan. Dalam kasus pernikahan, orang hanya bisa mensetubuhi jika telah melakukan Akad nikah yang syar’i. karena itu, hadis ini menunjukkan secara implisit dilarangnya melakukan Akad nikah, karena Akad nikah menjadi pintu masuk yang halal sebelum seseorang boleh menggauli seorang wanita.
Lebih lugas lagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memisahkan pasangan suami istri yang menikah setelah diketahui bahwa wanitanya sudah dalam keadaan hamil dulu sebelum menikah.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ بَصْرَةُ بْنُ أَكْثَمَ نَكَحَ امْرَأَةً فَذَكَرَ مَعْنَاهُ زَادَ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا
Dari Sa’id bin Musayyab bahwasanya seorang lelaki bernama Bashroh bin Aktam menikahi seorang wanita (yang telah hamil karena perzinaan)-lalu perawi menyebut lafadz yang semakna dengan lafadz sebelumnya dan menambah- dan beliau (Rasulullah SAW) memisahkan keduanya (dari ikatan pernikahan) (H.R. Abu Dawud)
Pemisahan paksa dari Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Akad tersebut fasid (rusak). Jadi menikahi wanita yang hamil karena zina tidak boleh sebelum dia melahirkan anaknya, atau keguguran. Diserupakan pula kebolehannya jika janin tersebut keluar dengan cara abortus, meskipun aborsi sendiri adalah maksiat baru jika dilakukakan pada janin yang telah bernyawa.
Adapun masalah Wali, maka selama ayah masih hidup dan hak perwaliannya tidak gugur maka dia yang paling berhak untuk menikahkan. Jika peran ayah digantikan oleh Wali yang lain seperti kakek, saudara, paman, sepupu dll maka perwalian mereka tidak sah karena ayah adalah Wali yang terdekat dengan wanita dan yang paling berhak terhadapnya. Pernikahan yang diselenggarakan Wali yang tidak berhak maka Akad nikahnya rusak (fasid).
Namun jika ayah tidak mau menjadi Wali padahal calon mempelai lelaki tidak bermasalah secara syariat, maka hak perwalian ayah menjadi gugur dan hak tersebut berpindah kepada Wali yang terdekat karena ayah telah melakukan عضل ‘/Adhl (mempersulit pernikahan tanpa alasan syar’i) dalam istilah Fuqoha. Wali manapun yang melakukan ‘Adhl hak perwaliannya gugur dan berpindah kepada Wali yang terdekat. Wali yang terdekat yang dimaksud adalah kakek. Jika kakek tidak ada/hak perwaliannya gugur maka perwalian digantikan ayahnya kakek, lalu ayahnya ayah kakek demikian seterusnya keatas. Jika kakek tidak ada maka digantikan putra. Jika putra tidak ada maka digantikan putranya putra, putranya putra putra demikian terus ke bawah. Jika tidak ada maka digantikan saudara, jika tidak ada putranya saudara terus ke bawah dst sesuai aturan gradasi Wali dalam Fikih.
Atas dasar ini bisa disimpulkan bahwa pernikahan sandiwara hukumnya tidak sah, tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat secara syar’i. Wanita yang telah berzina sampai hamil boleh dinikahi baik oleh yang menzinainya maupun orang lain asalkan melakukan Istibro’ terlebih dahulu, dan saudara tidak berhak menikahkan wanita selama ayah masih ada dan ayah tidak gugur hak perwaliannya.
Terakhir, kami bertakziyah atas musibah yang menimpa keluarga saudara dengan peristiwa robeknya kehormatan salah seorang wanita dari keluarga. Mudah-mudahan peristiwa ini bisa menjadi cambukan untuk menjadi lebih baik dan juga menjadi bahan renungan sehingga menjadi ibroh untuk menata kehidupan berkeluarga agar menjadi lebih dekat dengan Syariat. Mudah-mudahan Muslimah yang terperosok dalam perzinaan tersebut juga mendapatkan Taufiq untuk bertaubat, merenungi kehidupannya dan selanjutnya menata kehidupan yang lebih bersih lagi di bawah cahaya petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Bagi kaum Muslimin yang lainnya, hendaknya dengan peristiwa ini dan yang semisalnya bisa memahami bahwa penanaman nilai-nilai menjaga kehormatan, kesucian, kebersihan, harga diri, dan kemuliaan adalah diantara nilai-nilai penting yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini, utamanya kepada para wanita. Dalam riwayat, demi merealisasikan target pendidikan ini kepada para wanita, Umar bin Al-Khattab dan Aisyah Ummul mukminin merekomendasikan agar para wanita sejak awal sudah diajari surat An-Nur, karena surat Annur memang diantara surat yang paling padat menjelaskan prinsip-prinsip menjaga kehormatan, kesucian, harga diri dan semisalnya (lihat tafsir Al-Qurthuby, Muqoddimah Tafsir Surat An-Nur). Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment
ya